One Hour: 08.10 A.M

5.7K 273 31
                                    

WARNING!

Alur dalam cerita ini maju dan mundur. Jika sebuah adegan tidak diawali dengan jam seperti 08.00 A.M atau 08.10 A.M dst, maka itu adalah kilas balik (flashback), seperti di bawah ini...

~*~





Aku mencintainya. Ben. Selalu.

Semua ini bermula dari aku hidup satu atap dengannya.

Tata, teman baikku sangat berbaik hati menawarkanku tempat untuk hidup, karena perekonomian keluargaku sedang menurun, dan aku tidak tega membebani mereka lagi dengan segala keperluanku sebagai mahasiswa semester terakhir.

"Untuk sementara, kamu bisa tinggal sama aku dulu, Luss," ucap Tata sambil tersenyum.

"Di apartemenmu?" Aku merasa tak enak hati padanya.

Tata mengangguk mantap. "Tenang aja, orangtuaku nggak tinggal di sana, kok. Mereka kerja di luar negeri. Jadi kamu nggak canggung nantinya."

Aku tak tahu lagi harus tinggal di mana ketika masa berlaku kosku habis. Kutekankan sekali lagi bahwa aku tak mau membuat orangtuaku harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit.

"Nduk, bagaimana kuliahmu? Kamu masih ada di kosanmu, kan?" Begitu pertanyaan ayahku ketika beliau menelponku, memastikan keadaan dan pastinya memastikan tentang diriku.

"Mm, iya, Pak." Aku berbohong. Tidak mau membuatnya khawatir apalagi sampai terbawa ke pikirannya. "Kuliahku lancar. Kosanku juga memberikan dispensasi kok, Pak."

"Baguslah jika begitu." Ayahku terbatuk-batuk di seberang telepon sana. "Kamu tahu, kan, bagaimana keadaan kita sekarang."

Oh, mendengar batuknya saja membuat hatiku nyeri. Ayahku ini pasti sudah banyak memikirkan sesuatu. Jangan sampai aku menambah bebannya lagi. "Iya, Pak. Lussiana bakal rajin kuliah kok."

Itulah percakapan akhir kami.

Dan di sinilah aku berada. Di apartemen Tata. Hanya berdua. Ya, kuharap kami hanya berdua.

Aku

dan

Tata.

Tetapi harapanku sirna saat suatu pagi aku terbangun, keluar dari kamar dan berpapasan dengan seorang lelaki. Yang kemudian kutahu ia adalah saudara laki-laki Tata. Ben. Dan ia membenciku.

Mengapa?

~*~

Saat pertama kali kulihat mata itu, oh, sorot matanya sangat tajam. Tak ada tanda-tanda keramahan di sana. Ia menatapku dalam sepersekian detik lalu langsung mengalihkan pandangan dan mendengus.

Dan pada saat itulah kali pertama aku merasa kecewa karena diremehkan oleh seorang lelaki. Aku tak tahu apa salahku, tapi ini sungguh membuatku jatuh. Membuat pipiku memerah karena memanas atas gelagatnya yang sangat TAMPAK.

Setelah kutahu bahwa ia adalah saudara lelaki Tata, aku mencoba baik kepadanya.

"Ben," begitu aku memanggilnya. "Kamu mau susu?" tanyaku ketika aku sedang membuat susu di dapur dan kebetulan ia sedang mengambil segelas air putih. Ia baru pulang dari kerja.

Ben menatapku dalam-dalam dengan kurun waktu yang agak lama. "Aku suka susu," jawab Ben tanpa ekspresi. Kemudian ia menaruh gelas yang ia genggam di atas meja dengan kasar. Sedikit memacu jantung untuk berpacu lebih cepat karena terkejut.

Ia tak tampak menyukainya, ujarku dalam hati. Tetapi aku membuatkannya susu, setiap malam, setidaknya sampai malam ini, malam ke lima aku membuatkannya.

Namun ada yang aneh. Aku selalu mendapati cangkir susu itu ludas dalam sekejap dan sisa susu panas menggenang di wastafel pencucian piring.

Dibuang, ternyata.

Air mataku hampir menetes saat itu juga. Ben sungguh tak menghargai pemberian orang!

"Kalau kamu tahu siapa diri kamu, kamu nggak akan di sini, Pengemis!" suara Ben terdengar pelan dan dingin. Ia ada di belakangku saat ini.

Apa dia bilang? Pengemis?!

Tertohoknya diriku detik itu juga memaksaku untuk berteriak keras. Tetapi yang keluar hanya lirihan pelan, "aku bukan pengemis, Ben," ucapku sambil menatapnya tak percaya.

Ben menyeringai kejam. "Hidup di tempat orang lain, makan kami tanggung, semua kami tanggung. Apa namanya jika bukan pengemis?!"

Cukup! Aku memang selalu memikirkan beban orangtuaku. Dan Tata selalu menasihatiku untuk tidak mengambil hati semua perkataan Ben. Tetapi Ben sudah keterlaluan. Secara gamblang ia berbicara seperti itu di depanku. Aku benar-benar direndahkan. Aku tak bisa bertahan jika seperti ini. Aku tak tahu apa salahku!

"Oh, ya, kamu harus tahu bahwa susu itu seperti kamu. Amis. Memuakkan. Menjijikan. Itulah kamu. Makanya aku membuangnya. Berharap kamu pun bisa dibuang semudah itu." Ben berbalik meninggalkanku yang berdiri tergeming.

Sekuat tenaga kucoba untuk menahan air mata. Tetapi tak bisa. Ia selalu menemukan cara untuk keluar dari muaranya.

~*~

08.10 A.M(*)

Perlahan kuucapkan sebuah kalimat, setengah ragu apakah ini benar. "Aku akan pergi ke pernikahan," aku akan membalas semua perlakuannya malam itu, malam ketika ia benar-benar menjatuhkanku.

Kim menatapku tak percaya. Matanya seolah bertanya kau-serius-?

"Aku akan pergi ke pernikahan." Lagi-lagi aku berucap, kali ini lebih yakin.

Namun, apakah aku yakin bahwa aku tak akan tersakiti melihat ia bersanding dengan orang lain? Apakah keperihan itu nantinya bisa kutahan?

~*~





Bersambung ke bab selanjutnya...

~*~





Terima kasih sudah membaca ceritaku.

Kalau kamu suka please beri vote dan komentar agar aku terus semangat melanjutkan cerita ini.

Kalau kamu nggak suka, berilah kritik agar aku memperbaiki kesalahanku.

-See you... 









(*) Kembali ke masa sekarang.

One Hour [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang