One Hour: 08.50 A.M

4.2K 229 1
                                    

Inilah awal dari segala ketidakpastian yang menggantungku, menaruhku dalam kegelisahan yang membuat dada ini membuncah. Harusnya aku patut berbahagia karena tanggal sidang skripsiku sudah ditentukan, yaitu satu minggu lagi. Namun tidak karena tidak ada Ben di sampingku.

Setelah kejadian itu, atau bisa dibilang sebagai kecelakaan, paginya Ben mengatakan akan ada proyek kantor di luar daerah. Ia akan bekerja lumayan lama. Tetapi ia tak mengatakan di mana dan berapa lama.

Aku tak bisa memaksanya untuk memberitahuku lebih lanjut. Aku cukup sadar siapa diriku. Apakah aku sekarang berhak mengakui ia adalah milikku setelah ciuman dan ungkapan perasaannya itu? Tidak!

Iya, sebenarnya sudah jelas dengan Ben tidak memberitahuku di mana ia akan bekerja, ia menganggap bahwa aku bukanlah siapa-siapanya. Aku tak perlu tahu tentangnya, juga tak perlu khawatir mengenai dirinya. Toh, kami tidak menjalani hubungan spesial secara resmi.

Tetapi jauh sebelum ciuman itu, Ben sudah merenggut sebagian dari diriku. Yang mana jika separuhnya menghilang, selamanya diri ini tak akan lengkap.

Dan ia memegang bagian yang lebih besar.

Ben sudah merenggut hatiku.

~*~

Satu minggu berlalu, bertepatan dengan hari sidang skripsiku, Ben belum juga mengirimkan kabar. Satu bulan seusai sidang skripsi, Ben tak kunjung menuliskan pesan singkat melalui handphonenya kepadaku. Bahkan tiga bulan selanjutnya, ketika aku wisuda, Ben tidak ada kabar sama sekali.

Tiga kali sudah kukirim pesan singkat untuknya. Namun tak ada balasan. Beberapa kali kucoba menelponnya, handphonenya tidak aktif sama sekali.

Seperti mau gila rasanya!

Hingga aku meninggalkan apartemennya karena aku sudah mulai bekerja dan mendapat uang sendiri, aku benar-benar hilang kontak dengannya.

Sampai tahun selanjutnya, datanglah undangan itu di depan apartemenku. Aku tidak tahu siapa yang mengirim dan bagaimana bisa si pengirim tahu bahwa aku adalah orang yang harus dikirimnya undangan itu.

Namun, ketika kulihat siapa foto itu, aku tahu si pengirim mengirim undangan ke alamat yang tepat. Alamatku.

~*~

08.50 A.M

Sepuluh menit menjelang ucapan janji setia mempelai, keringat dinginku mengucur semakin deras. Kedua jariku bertaut erat-erat, aku tak bisa menyembunyikan kegundahan ini.

Kulihat pastor sudah siap di tempatnya dan para tamu undangan sudah duduk di kursinya masing-masing. Aku menoleh ke samping, di mana Kim duduk. Wanita itu mengambil alih salah satu tanganku. Ia genggam menggunakan tangan kanan dan tangan kirinya menepuk-nepuk punggung tanganku. Ia mencoba menenangkanku.

Kim pasti tahu sedingin apa tanganku saat ini. Seperti terkubur di dalam salju es selama berjam-jam. Bahkan dingin ini sudah menusuk sampai ke tulang-tulangku. Linu. Nyeri. Tak bisa kutahan sama sekali.

Aku menunduk kemudian menghela nafas sedalam-dalamnya. Kulesatkan pandanganku ke tanganku sendiri. Tangan yang pernah digenggam erat oleh Ben ke acara pernikahan, temannya. Tiba-tiba kedua tanganku terlihat mengabur. Setetes air mata terhempas langsung ke telapak tanganku.

"Oh, Lussiana, jangan.. jangan sekarang." Kim lekas mengambil tisu dari tasnya dan menghapus air mataku. "Pernikahan akan segera dimulai, jangan menangis, Sayang."

~*~








Happy 1K Pembaca:)

Senang banget deh cerita ini tembus 1k pembaca.

Semoga kalian tetap menikmati cerita ini ya.

Jangan sungkan untuk memberi kritik dan saran. Sepuas kalian.

Terima kasih.

One Hour [COMPLETED]Where stories live. Discover now