One Hour: Ajakan Ben ke Pernikahan

4.2K 209 14
                                    


Ben menepati kata-katanya. Ia tak lagi menampakkan sikap angkuhnya juga ucapannya yang menyakitkan hati. Sebaliknya, ia malah sangat baik kepadaku. Aku ingat kemarin ketika aku pulang dari kuliah, hujan turun dengan deras. Membuatku terpaksa berteduh di halaman sebuah kafe di pinggir jalan.

Bahuku sudah dibasahi oleh air, bahkan celana jins yang kukenakan perlahan berubah warna menjadi lebih tua karena terpercik air yang jatuh. Dan tak lama kemudian aku melihat mobil berhenti di depan kafe yang kuteduhi dan seseorang keluar dari sana.

Itu adalah Ben. Ia berlari ke arahku dengan tangan kanan di atas kepala—melindungi dari hujan dan tangan kiri memegang jas kantornya. Ketika sudah sampai ia mengibas-ngibas bahu dan lengan tangannya.

"Ben, kenapa ada di sini?" tanyaku terkejut melihatnya menghampiriku.

Ben tersenyum. "Aku tadi lewat dan melihatmu. Ayo kita pulang," jawabnya.

Ayo kita pulang, entah mengapa aku merasa kalimat itu sangat-sangat membekas di otakku.

Karena tak kunjung menjawab, Ben berkata lagi, "hujan ini akan lama. Ayo." Tangan kanannya mengambil alih tangan kiriku. Digenggamnya seolah menjalarkan kehangatan tubuhnya agar aku tak kedinginan.

Aku mengangguk setuju dan mengambil langkah lebih dulu menuju mobil. Ketika sudah beberapa langkah, aku merasa sebuah kain menutupi kepalaku hingga ke punggung. Aku menghentikan langkah dan menengadah . Oh, ini adalah jas milik Ben.

Kemudian aku merasa ada sebuah tubuh besar yang menabrakku dari belakang. Hingga aku maju satu langkah.

"Ada apa, Lussiana?" Kini kedua tangannya menggenggam kedua bahuku dan ia bertanya dengan wajah yang sangat dekat dengan wajahku. Oh, Tuhan!

Aku langsung berlari dan masuk ke dalam mobil. Aku merasa malu atas semua perlakuan Ben tadi. Pasti pipiku sudah memerah sekarang.

Aku memindahkan tangan kiriku ke depan dadaku. Ah, kenapa detak jantung ini menjadi sangat cepat?!

Dan semenjak kejadian hujan itu, detak jantungku sering menjadi tidak keruan saat melihat Ben. Bahkan saat Ben tiba-tiba ada di dekatku, aku tidak sadar bahwa aku menahan napas. Jika dada ini sudah sesak, baru aku tersadar bahwa aku sudah menahan napas sekian lama karenanya.

Sampai pada suatu malam pernyataannya mengenai mengajakku ke pernikahan sungguh mengejutkanku.

~*~

"Lussiana, emm.. aku mau berbicara denganmu." Ben terlihat grasak-grusuk kali ini. Seperti orang yang ... gugup?

"Ya?" tanyaku.

"Em ... begini ...." Ben terlihat ragu mengucapkannya. Tapi akhirnya keluar juga. "Kau mau ke pernikahan denganku?"

APA? Pernikahan? Menikah? Aku bahkan belum lulus kuliah! Dan apa? Tanpa kata-kata cinta?

"Ah, maksudku ke pernikahan temanku. Aku tak ada teman," ralat Ben. "Maaf jika merepotkanmu. Kalau kau tidak bisa, tidak..."

Aku langsung berdeham dan mengatakan, "Aku bisa."

Bagaimana bisa aku salah paham begini. Bodonya aku!

Ben tersenyum semringah. "Baiklah, acaranya besok malam. Besok malam kita berangkat."

Aku hanya mengangguk-angguk saja.

"Kalau begitu, selamat tidur." Ben langsung pergi dan masuk ke kamarnya.

Begitu pula denganku. Aku masuk ke kamarku dan merasakan malu yang luar biasa. Untung saja ungkapan terkejutku tak kulontarkan begitu saja di depan Ben. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa seminggu penuh aku tak berani menampakkan wajahku di depannya.









Bersambung ke bab selanjutnya berjudul One Hour: Kiss?

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa beri vote dan komentar ya..

One Hour [COMPLETED]Where stories live. Discover now