One Hour: 08.30 A.M

4.3K 219 0
                                    

Minggu pagi ini kubunuh waktu dengan berkutat di dapur. Memasak makanan sederhana untuk dimakan. Kali ini bukan untuk kumakan sendiri, melainkan ada seseorang yang harus dan wajib kubuatkan. Yaitu Ben.

Katakanlah bahwa aku wanita gila yang menuruti perintah Ben untuk tinggal di apartemennya. Hanya. Kami. Berdua. Aku tahu tak ada lagi alasanku untuk tinggal di sana, kecuali Tata tak pergi meninggalkan kami. Menghapus segelintir alasan untukku bisa menetap di sini.

Aku sendiri sampai bertanya kepada diriku sendiri, kemana otakku saat itu, hah?

Ah, lupakan saja. Yang penting sekarang adalah aku harus memastikan tak terjadi apa-apa di antara kami. Yah, kau tahu ketika lelaki dan wanita bersama dalam satu atap, sesuatu bisa terjadi tanpa kehendak.

Voila! Nasi goreng yang kumasak sudah jadi. Aku memasukkannya ke dalam salah satu piring dan langsung menaruhnya di meja makan.

"Kau memasak?"

Aku sedang mewadahi nasi goreng di piring yang satu lagi ketika suara Ben membuatku menoleh ke arahnya. Walaupun kaku, tetap kutarik bibir ini, menampilkan senyum kepadanya. "Ya, nasi goreng."

"Semoga ini bukan pertama kalinya kau memasak." Ben mengalihkan pandangannya kepadaku seraya tersenyum.

Oh Tuhan! Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Manis. Sangatlah manis. Lalu mataku mulai menelusuri elemen-elemen lain di wajahnya. Mata, ia memiliki mata yang sangat tajam meskipun aku pernah melihat mata itu tampak sayu. Hidung, hidungnya mancung ramping melengkapi wajahnya yang tampan. Dan pandanganku kembali ke bibirnya yang masih tersenyum. Oh, bibir itu...

"Tidak! Tidak," pekikku tanpa sadar.

"Kenapa?" Ben menatapkku dengan dahi berkerut.

Ya ampun, apa yang sedang kupikirkan?! "Tidak, ini bukan pertama kalinya aku memasak. Jangan khawatir," kualihkan menjawab pertanyaannya yang terakhir sebelum tadinya aku melayang di ambang khayalanku.

Kursi di meja makan ada empat buah, dan aku duduk bukan di depannya atau pun di sampingnya, melainkan di kursi yang satunya lagi. Kutangkap mimik wajah Ben yang agak terheran melihatku duduk di kursi ini. Namun, aku masih sedikit takut untuk terlalu dekat dengannya. Setelah semua perlakuannya waktu itu. Aku yakin suatu waktu ia bisa berubah kapan saja.

Aku dan Ben masing-masing mulai memakan makanan kami. Tak ada yang bersuara selama kami menyuapkan setiap sendok nasi goreng ke dalam mulut kami. Hening benar-benar menyelimuti kami. Yang terdengar hanyalah detak jam dan suara sendok berdentang saat bertemu dengan piring.

"Lussiana." Makanan sudah tersisa setengah sewaktu Ben bersuara. Kemudian ia berucap lagi, "ayo kita bicarakan masalah kita."

Langsung kutelan makanan yang baru kukunyah dan mengangguk. Ya, kami memang perlu membicarakan tentang ini. Dan entah mengapa tiba-tiba jantung ini berdetak lebih cepat. Hingga rasa dingin mulai menyesap kedua tanganku.

"Aku minta maaf atas semua perlakuanku waktu itu. Adikku, Tata, sudah menjelaskan semuanya ketika kau ada di rumah ini pertama kali. Hanya saja aku yang belum bisa mengerti. Kau.. sangat mirip sekali dengan..."

"Dengan Winda," lanjutku karena Ben berhenti berkata.

Ben menatapku sambil mengangguk berkali-kali, membenarkan. Dan kemudian melanjutkan lagi, "Pagi itu, Tata ke kantorku. Dan lagi-lagi ia menjelaskan semua padaku. Harusnya kuantar ia pulang, tapi aku terlalu marah. Sampai-sampai Tata..."

Kulihat Ben yang sungguh terlihat menyesal. Matanya memerah dan di sudut mata itu tergenang setitik air. Terlebih diriku. Aku tercekat. Rasa bersalah juga mulai memenuhi diriku.

Kutelan sisa makanan yang masih ada di rongga mulutku dengan susah payah. "Semua salahku..." sesalku.

Gesit, Ben menghapus setitik air matanya. "Tidak, tidak. Ini bukan salahmu. Ini salahku. Maka dari itu aku tak ingin menyesal lagi. Tata memintaku untuk membiarkanmu tinggal di sini, setidaknya sampai kuliahmu selesai. Kau sudah semester akhir, bukan?"

"Ya," jawabku.

"Aku akan baik kepadamu. Jadi jangan lagi canggung di apartemen ini. Anggap saja ini tempat tinggalmu." Ben tersenyum dan melanjutkan sarapan paginya.

"Terima kasih, Ben," ucapku membalas senyumnya. Aku pun kembali melanjutkan sarapan pagiku, walaupun nasi goreng yang kubuat sudah terlihat tak enak lagi.

~*~

(Masa sekarang)

08.30 A.M

"Kau tersenyum," kata Kim. Ini pernyataan, bukan pertanyaan.

Aku menoleh kepadanya dan melihat ia sedang berfokus menyetir. "Huh, bisa-bisanya aku tersenyum di waktu seperti ini, kan?" Aku tertawa miris. Menertawakan diriku sendiri yang sangat menyedihkan ini.

"Nanti tersenyumlah seperti tadi.. senyummu terlihat seperti seorang ibu yang memerhatikan anaknya ketika terlelap tidur, sangat tulus."

"Aku tak yakin bisa melakukannya," balasku. Lagi-lagi tekanan di bagian dadaku mendera. Apakah aku bisa tersenyum tulus di hadapannya dengan wanita lain di sampingnya?

"Kau harus bisa, Sayang." Kim memberhentikan mobilnya. "Karena sebentar lagi kita akan sampai."








Bersambung ke bagian selanjutnya yang berjudul  One Hour: Ajakan Ben ke Pernikahan

~*~

Terima kasih sudah membaca cerita ini ya, Teman-teman. Semoga ketika membaca cerita ini kalian memang benar-benar membaca satu per satu kata yang tertuang, menikmatinya, layaknya aku yang menuangkan pikiranku juga menikmati proses pembuatan cerita ini.

Kalau ada kritik dan saran yang membangun sampaikan saja, jangan sungkan. Jangan takut aku tersinggung.

Jangan lupa vote juga ya. Terima kasih...


One Hour [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang