One Hour: Keanehan Ben

4.1K 235 4
                                    

Ini semua salahku. Dari kecelakaan yang menyebabkan teman terbaikku tiada, hingga terpuruknya Ben selama berhari-hari. Aku yakin bahwa ia tak keluar dari apartemennya selama berhari-hari.

Aku memang tak lagi di apartemen itu sejak pemakaman Tata lima hari yang lalu. Namun, aku selalu mengawasi, mencari waktu yang tepat untuk mengambil barang-barangku yang masih tertinggal di sana.

Hari ini aku berencana akan mengambil barang-barangku di sana. Dengan menaiki lift dan menekan nomor 12, lift bergerak naik. Setiap detiknya meyakinkan diriku sendiri untuk tidak cemas. Dan akhirnya aku mendarat di lantai itu. Tempat Ben tinggal.

Keraguan lagi-lagi merasukiku. Setelah berhari-hari mengumpulkan nyali untuk kembali ke sini, seketika aku tak lagi seyakin saat aku menginjakkan kaki di halaman apartemen ini.

Karena Tata, juga karena Ben.

Jika aku memasuki apartemen Ben, maka aku akan kembali teringat dengan Tata. Segala kebaikkan Tata, segala kenanganku dengan Tata dan terlebih jika tiba-tiba aku berhadapan dengan Ben langsung. Aku takut.

"Mengapa kau di sini?"

Tersadar dari lamunku, aku langsung melihat wajah Ben. Berdiri tepat di depanku. Ia terlihat baru saja keluar dari apartemennya.

APA?

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Bingung. Mengapa aku bisa di sini? Bukankah tadinya aku berada di depan pintu lift?

Oh, tidak. Aku melamun sambil berjalan sampai tidak sadar bahwa kakiku membawaku ke sini.

DEG! Detak jantungku melonjak naik.

"Aku mau mengambil barangku." Takut-takut kujawab pertanyaannya. Sesekali kutilik dirinya. Walaupun penampilannya lumayan rapi dengan kaos polos berwarna abu-abu dan celana selutut, namun rambut dan wajahnya menunjukkan bahwa ia benar-benar depresi.

"Ya, ada di dalam. Masuk," jawabnya dingin. Ia kembali membukakan pintu apartemennya dan membiarkanku masuk.

Hufh! Ini tak seburuk yang kukira.

Ia pergi ke kamarnya dan aku pergi ke kamar Tata. Ketika kubuka pintu kamar itu, hawa yang berbeda sangat terasa. Kasur itu, kasur di mana setiap malam aku tidur bersamanya, saling bercerita sebelum tidur, tertawa cekikikan sebelum terlelap. Dan sofa itu, sofa yang selalu ia duduki waktu ia membaca buku. Juga lantai itu, tempat ia pernah mendorongku ketika tidur hingga aku terjatuh dari kasur.

Tidak bisa kutahan lagi air mata ini, hingga menetes dengan begitu saja. Aku sungguh menyesal, Tata. Maafkan aku.

Setelah berlama-lama di dalam kamar Tata, aku keluar dari sana. Membawa semua barangku. Kupastikan tidak ada barang yang tertinggal.

Kugeret koperku melintasi dinding pembatas antara kamar Tata dan ruang tengah, dan di sana ada Ben. Sedang duduk di sofa menghadap televisi membelakangiku.

"Terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan Tata. Aku pergi," tutupku. "Ah ya, Ben, aku hanya ingin bilang bahwa aku bukan Wanda."

Aku berjalan cepat menuju pintu keluar. Tetapi, tiba-tiba aku mendengar seseorang berbicara, "Kau tetap di sini. Tinggal di sini."

Siapa? Siapa yang mengatakan itu? Apa aku tak salah dengar?








Bersambung ke bab selanjutnya...


One Hour [COMPLETED]Where stories live. Discover now