One Hour: Seharusnya Waktu Ini Tak Pernah Ada

4.4K 245 17
                                    

"Lussiana? Kamu mau ke mana?"

Suara Tata adalah suara yang sangat bisa membuatku serangan jantung saat itu juga. Mataku terbelalak seketika menatap pintu yang seharusnya selangkah lagi kugapai, namun tak bisa karena ada seseorang memergokiku. Cepat-cepat aku menoleh dan menemukan wajah Tata dengan mimik keheranan.

"Kamu mau pergi ke mana? Kok semua barang dibawa?"

Bagaimana aku menjawabnya? Bagaimana?

"Kok diam aja? Kamu mau ke mana bawa-bawa barang sebanyak ini, Lussiana?" kini Tata mendekatiku sambil melihat apa yang kubawa di tanganku.

"Emm, gini Ta, aku.. aku udah dapat tempat tinggal. Iya. Jadi.. gini, aku dapat kosan kemarin aku cari-cari," ucapku terbata-bata.

"Lussiana, kamu kemarin seharian sama aku di kampus. Kita nungguin dosen untuk persetujuan skripsi kita." Raut wajah Tata semakin terheran.

Matilah aku.

"Lussiana, coba jawab jujur. Kamu mau pergi ke mana dan kenapa?" Tata bertanya lebih lembut kali ini. "Gara-gara Ben, ya?"

Aku diam saja. Tentu saja temanku ini tahu jika aku berbohong.

"Pengemis, kan, katanya?"

Dari mana Tata tahu itu? Oh, sekarang aku tak berani menghadap wajah Tata karena Tata semakin dalam menatap wajahku. Mencari kebenaran.

Tata pun melepaskan koper yang kugenggam dan ia mengambil alih tanganku. Kemudian ditariknya aku untuk duduk di pinggir kasurnya.

"Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun, tapi aku harus cerita ini ke kamu. Karena pasti kamu tersakiti sekali," ucap Tata. "Kamu mirip sama wanita itu."

Dahiku menyernyit. "Siapa?" tanyaku spontan.

"Wanita yang mengkhianati Ben. Winda namanya," jawab Tata. "Saat hari pertama kamu tinggal di sini dan melihat kamu, dia selalu teringat Winda. Winda itu pacar pertama Ben. Dan mereka sudah berpacaran lama sekali. Tapi, Winda mengkhianati Ben begitu saja."

"Tapi aku bukan Winda," elakku. Aku tak pernah mengkhianati siapa pun.

"Iya aku tahu, tapi aku paham kalau Ben benar-benar nggak tenang selama ada kamu di sini."

"Memang sebaiknya aku pergi, Ta." Aku bangkit dari dudukku dan mengambil segala barang-barangku. Ya, aku harus pergi.

"Jangan, jangan, please, jangan, Luss." Tata menahanku. "Kamu teman baikku. Dan aku mengerti sekali keadaan kamu sekarang. Tolong jangan pergi, Lussiana. Aku pasti bakal bujuk Ben. Kalau perlu aku bujuk dia sekarang."

"Percuma, Tata. Dia tak akan mengerti. Lagipula dia sudah berangkat."

"Aku akan ke kantornya, sekarang."

~*~

Inilah saat terbaikku untuk pergi. Saat apartemen sedang kosong. Tak ada Ben, tak ada Tata. Inilah saat terbaikku untuk kabur. Namun Tata memerintahku untuk tetap tinggal dan menunggunya. Dan bodohnya aku menurut saja.

Tetapi, sekarang bukan tentang kabur yang mengganggu pikiranku. Yang kukhawatirkan sekarang adalah soal Tata yang terlalu lama pergi. Sudah tiga jam ia keluar dan belum kembali juga.

Tak lama kemudian handphoneku berdering. Aku melihatnya dengan segera. Dari nomor tidak dikenal.

"Halo?" ucapku.

"Lussiana, Tata..." perkataan dari seberang sana terhenti. Ah, ya, aku kenal suara ini. Suara Ben.

APA? BEN?

"Tata kecelakaan, sekarang di RS Permata Hati. Cepat datang." Sambungan telepon langsung terputus.

Seketika melintas tubuh Tata yang bersimbah darah. Tidak! Tidak! Cepat-cepat kuhapus pikiran burukku itu. Sekuat tenaga aku berlari, walau lutut ini terasa lemas ketika mendapat kabar itu.

Oh, Tata.. pasti ini semua salahku. Maafkan aku. Seharusnya waktu di hari ini memang tak pernah ada.

~*~







Bersambung ke bab selanjutnya:)

~*~

Terima kasih ya sudah baca cerita ini. Jangan sungkan untuk meninggalkan komentar seperti kritik saran atau apa pun yang berkaitan dengan cerita ini...

Beri juga vote kalau kamu suka dengan cerita ini.

Kamu ingin ceritamu juga dibaca? komentar aja.. insya allah kubaca dan kukomentari.

One Hour [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang