Dalam Perjalanan Menuju Pulang

1.6K 168 10
                                    

Bhin’s POV


*

Pooongggg

Peluit kereta yang memasuki stasiun, terdengar. Aku menolehkan kepala ke arah Ayah dan Ibu yang mengantarnya. Perutku terasa mulas, membayangkan akan segera berpisah dengan mereka. 17 tahun hidupku, tidak pernah berpisah lama dengan Ibu. Kecuali saat acara perjusami, perkemahan jumat sabtu minggu saat ikut pramuka, praktis aku selalu bersama Ibu. Ibu adalah sahabat dan tempatku bercerita.

“Kamu gelisah Bhin?” Ibu bertanya lembut padaku. Aku menggangguk pelan.

“Ya, Bu. Bagaimana kalau aku nggak krasan, Bu? Bagaimana kalau aku ndak cocok sama sepupu-sepupu lain?” mataku menggelap oleh airmata yang menggantung.

“Bhin, kamu putri Ibu yang kuat. Kamu pasti bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Setidaknya ada mas-mu yang menemani. Bulan depan nanti, Ibu datang jenguk kamu ya. Ojo kuwatir. “ Ibu menenangkan sembari mengelus punggungku lembut.

Mas Tunggal datang bersama Ayah, bersamaan dengan datangnya kereta yang akan membawa kami ke Yogyakarta. Mereka menenteng bungkusan. Mungkin, itu bungkusan makanan buat bekal di kereta nanti. Aku dan Mas Tunggal naik ke kereta sambil membawa barang-barang kami, dibantu oleh Ayah dan Ibu. Setelah menata barang bawaan, Ayah dan Ibu pamit untuk turun dari kereta.

Ayah memelukku erat, lalu berbisik, “Ayah senang, Nak. Senang, karena kamu akan tinggal di rumah masa kecil Ayah. Tolong jaga Mbah Putri untuk Ayah ya, sayang.” Aku menggangguk dengan hidung kedat.

Ibu memelukku erat tanpa berkata-kata. Sedang untuk Mas Tunggal, Ibu sibuk menasihati tentang harus menjagaku, makan teratur, membantuku beradaptasi dengan lingkungan dan kampus, sampai jangan lupa untuk sholat tepat waktu. Setelah itu mereka berdua turun, dan berdiri di peron.

Tidak lama, kereta pun mulai berjalan. Aku melambaikan tangan kepada Ayah dan Ibu. Selepas dari stasiun, aku menyenderkan kepala di kursi kereta. Perjalanan menuju pulang sudah dimulai. Pulang menuju kampung halaman orangtuaku. Aku memejamkan mata, berusaha mengusir rasa campur aduk yang berkecamuk dalam dada.

“Capek, Bhin?” Tanya Mas Tunggal sambil mengambil handphone-nya.

Ndak, Mas. Bhin cuma cemas. Takut. Suasana baru, lingkungan baru. Harus tinggal bareng sepupu-sepupu yang jarang ketemu.” Aku menoleh ke arah Mas Tunggal. Melongo sejenak melihat kelakuan Mas-ku itu. Lihatlah, laki-laki kurus tinggi itu malah sudah tidur. Handphone yang dipegangnya sedikit tergelincir. Aku tertawa kecil. Ibu selalu bilang, kalau Mas-ku itu kebluk alias tukang tidur. Asal kursi nyaman pun, dia bisa tidur nyenyak. Setelah mengamankan handphone Mas Tunggal, aku mengalihkan pemandangan keluar jendela kereta.

Ingatanku melayang ke peristiwa 2 bulan lalu. Ketika Om Setyo, pengacara keluarga Ayah datang dan membacakan wasiat Kakek. Permintaan Kakek awalnya terasa aneh. Mosok,  Kakek minta lima cucu terbesarnya untuk tinggal bersama dan menjaga Mbah Putri. Biasanya kan yang diminta menjaga, anaknya. Kenapa harus cucu? Dan kenapa harus kami berlima?

Pertanyaan-pertanyaan itu, terus berputar dalam benakku selama dua bulan ini. Terkadang pertanyaan itu hilang digantikan kegiatan lain, seperti mencari tempat kuliah. Entah kebetulan, atau memang takdir Allah, aku diterima di Universitas Gadjah Mada. Sedang Mas Tunggal, masuk ke Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran. Jadi urusan kampus beres.

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang