Pohon Menjadi Saksi

879 108 11
                                    


Kediaman Mbah Putri Setiowidjojo, pagi hari setelah sholat subuh sudah ramai. Meja makan penuh dengan bungkusan makanan.

"Sep, kemarikan ayam goreng depan kau itu," pinta Tomas kepada Asep di seberangnya.

Asep mengusap matanya dan menyorongkan piring berisi ayam goreng, lalu menguap lebar. Di depan mukanya ada termos yang harus diisi teh dan kopi panas.

"Astaghfirullah, panasnya ya Allah," seru Asep tiba-tiba, membuat semua mata menoleh kepadanya.

"Ngape, Sep?" Tanya Rarina.

"Si bodoh ini, celup tangannya ke air panas untuk bikin teh. Ck," kata Tomas sambil menggelengkan kepala. Asep meringis-ringis. Hilang sudah rasa kantuknya. Kepalanya lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia melihat Bhin yang menelungkupkan wajahnya di meja makan. Memberi kode ke arah Tomas dan Rarina, serempak ketiganya berteriak.

"BHIIIINNNN HUJAAAANN!"

Bhin tersentak kaget, lalu lari kesana kemari. Akhirnya dia lari ke bawah meja makan dan duduk di sana.

"Kunaon, kamu Bhin?" Tanya Asep kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu.

"Hujan, Sep. Nanti basah." Sahut Bhin kalem. Lalu meneruskan tidurnya di kolong meja.

"Anak itu kebanyakan micin kayaknya. Dibangunin malah lanjut tidur." Tomas heran melihat kelakuan ajaib Bhin.

"Berisik, lo pada. Gue lagi goreng perkedel nih. Gara-gara lo pada teriak, perkedel yang gue tirisin nyemplung lagi deh." Tunggal ngomel-ngomel yang disambut cekikikan Rarina.

"Ono opo tho? Rame pisan di dieu," Mbah Putri datang menghampiri.

Tunggal melongo. Bahasa Mbah lam-lama jadi aneh. Tapi berhubung Tunggal nggak ngerti, dia cuma mengangkat bahu dan melanjutkan pekerjaannya. Memasukkan lalapan sayur ke dalam wadah.

Hari ini Yang Mulia Mbah Putri mau pergi piknik. Bukan sembarang piknik, tapi piknik yang anggotanya semua mbah-mbah, kecuali Tunggal. Iya, Tunggal harus menjadi pendamping para manula yang akan berpiknik hari itu.

Setiap orang yang berangkat piknik, membawa satu jenis masakan. Nanti siang, mereka akan makan bersama-sama. Tapi bukan Yang Mulia namanya kalau cuma bawa satu jenis masakan. Para cucu dikerahkan untuk membuat ayam goreng, perkedel jagung, lalapan dan sambal. Khusus buat sambal, sepertinya akan gagal karena yang ditugaskan malah molor di bawah meja makan.

Jam tujuh pagi, semua sudah siap. Tunggal membawa semua masakan dan termos-termos. Sementara Yang Mulia Mbah berjalan melenggang.

Para sepupu yang ditugaskan menjaga rumah, nyengir lebar melepas kepergian Mbah dan Tunggal.

"Senang-senang, kau." Kata Tomas.

"Kaw, carilah gadis." Seru Rarina.

"Iya. Cari pacar nu geulis ya Nggal." Asep berteriak nggak mau kalah.

Sial, mana mungkin cari gadis di antara nenek-nenek, batin Tunggal keki.

Rencananya, mereka akan piknik ke salah satu desa wisata di wilayah Kaliurang. Acara piknik ini rutin diadakan di RW tempat Mbah tinggal. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk menghibur para manula.

Ketika Tunggal memasuki bus, terdengar sorakan dari dalam. Dia mengernyit bingung mendengar seruan dalam bahasa Jawa itu. Mbah pun dicolek supaya bisa jadi penerjemah dadakan.

"Kata mereka, untung ada anak muda. Jadi bisa bantuin bawa-bawa barang," Mbah terkekeh geli melihat muka Tunggal yang terlipat.

"Wis ojo manyun-manyun. Mungkin ada gadis cantik di tempat wisata nanti." Mbah menghibur Tunggal.

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora