Cerita Urang Paling Kasep

999 117 5
                                    

Writer's POV

"Akulah makhluk tuhan, yang paling seksi." Suara Asep membahana ke seantero rumah.

Bhin keluar dari kamarnya sambil memberengut. Handuk menutupi rambutnya yang baru di keramas.

"Sep, kowe suarane apik yo." Kata Bhin, tiba-tiba mengulas senyum manis.

"Asep tea. Urang paling kasep se-Bandung." Hidung Asep kembang kempis bangga.

"Apik suaramu, Sep. Paling apik kalau diam, tapi." Bhin tertawa lebar sambil lari sebelum disambit Asep pakai kain pel.

Di rumah Mbah, para sepupu ini berbagi tugas. Asep dapat kebagian tugas mengepel. Dia memang hobi melihat lantai klimis bebas debu, jadi nggak protes waktu dikasih tugas ngepel.

Setelah mengepel, Asep menuju halaman belakang. Dia bawa pisau ke bawah pohon mangga.

"BHIN!" teriak Asep.

Hampir saja Bhin jatuh dari pohon karena kaget.

"Opo tho, Sep? Ngapain kamu bawa pisau? Kamu dendam sama aku gara-gara diledekin tadi?" Bhin melihat pisau yang dibawa Asep. Matanya kemudian jelatatan, mencari jalan untuk kabur kalau diperlukan.

"Ya, kali aku dendam. Lemparin mangganya, Bhin. Ngerujak yuk." Kadang Asep curiga, Bhin kebanyakan makan micin. Anaknya rada-rada ajaib gitu.

Bhin tertawa terkekeh-kekeh sambil melemparkan mangga ke arah Asep.

"Dua aja ya Sep? Malas ambil yang diatas." Bhin menawar.

Asep mengangguk dan mengupas mangganya di bawah pohon. Hem, mangganya kelihatan manis. Dicocol sedikit sama garam.

"Uaseeemmmm. Bhiiiiinnn, ini masih asaaaaammmm." Teriak Asep sambil merem melek.

Bhin tertawa keras di atas pohon sampai hampir terjungkal. Asep ini orangnya polos banget. Dia seneng menawarkan diri untuk diledek. Terutama diledek oleh Bhin. Mangganya memang warna kuning, tapi asamnya numero uno. Asem banget deh. Makanya walaupun sering manjat pohon buat ngadem, Bhin jarang makan mangga. Pelan-pelan, Bhin turun dari pohon.

"Katanya asam, Sep. Dimakan terus nanti sakit perut loh," kata Bhin heran lihat Asep yang masih usaha makan mangga.

"Sayhang, Bhuin. Ngghak bholheh bhuang mhakhanan." Asep berkata dengan mulut penuh.

"Hah? Apaan sih? Telen dulu dong mangganya. Kata lagu, makan jangan bersuara." Asep menyeringai mendengar protes Bhin, lalu susah payah menelan.

"Sayang, Bhin. Kita kan nggak boleh buang-buang makanan. Banyak orang yang belum makan hari ini. Banyak janda-janda terlantar juga." Sahut Asep kalem.

Bhin bengong, apa juga urusannya mangga sama janda-janda. Kadang Bhin pikir, Asep ini kebanyakan makan garam. Ajaib gitu anaknya.

"Kamu wis krasan Sep neng kene?" Bhin bertanya.

Asep mengangguk.

"Parantos, Bhin. Da, lumayan bisa mopoheun masa lalu."

"Memangnya, kamu mau ngelupain apa, Sep?" Bhin penasaran. Posisi jongkoknya berubah menjadi bersila.

"Panjang ceritanya. Kayak coki-coki. Lamaaa dan panjannngg."

"Cerita atau aku suruh kamu makan mangga itu 12 biji," ancam Bhin.

"Dan cerita pakai bahasa Indonesia. Nggak ngerti aku bahasa sunda."

Asep menyeringai. Dia menyamankan posisi duduk, menyandarkan badan ke tembok lalu mulai bercerita tentang kehidupan SMA-nya.

"Dulu aku pernah dimintain uang sama kakak kelas. Aku nggak suka, jadi aku ngelawan. Tapi, hasilnya fatal. Waktu pulang sekolah, ada sekolompok orang nggak dikenal nyegat aku yang pulang sendiri. Aku dibawa ke rumah kosong. Aku udah takut sebenarnya. Takut dilecehkan. Tapi ternyata aku cuma dipukulin. Mereka bilang, aku belagu, nggak sopan sama orang yang lebih tua. Aku diam, soalnya aku tahu kalau ngelawan nanti mereka akan lebih beringas. Ya, begitulah aku berakhir di rumah sakit. Wajah gantengku ini ternoda." Asep bercerita santai.

Bhin berseru kaget mendengar cerita Asep, mengabaikan kata ganteng di ujung kalimat. Dia sama sekali nggak nyangka kalau sepupu ajaibnya ini ternyata adalah korban bullying semasa sekolah. Memang sih waktu itu, Bhin sempat dengar tante Ningsih, ibunya Asep cerita ke ibu Bhin. Tapi, waktu itu Bhin hanya sambil lalu mendengarkannya.

"Kamu tahu, Bhin, buat orang paling ganteng se-Bandung, punya bekas pukulan itu noda. Bayangin baru hampir sebulan bekasnya hilang." Asep tertawa melihat wajah pura-pura muntah Bhin saat mendengar ceritanya soal ganteng.

Bhin mengamati profil sepupunya yang kembali mengupas mangga dari samping. Jangan bayangkan Asep memiliki profil biasa-biasa saja. Hidung bangir dengan wajah putih bersih dan mata berkilat-kilat iseng, memang membuat Asep jadi pujaan gadis-gadis di kampus. Bhin tahu itu, karena banyak yang suka nitip salam buat Asep.

"Apa lihat-lihat? Mengakui kegantenganku ya?" Todong Asep.

"Ndak. Masih penasaran, orang-orang yang mukulin kamu ditangkap polisi, ndak?" Bhin ngeles kayak bajaj.

Asep mengernyit mengingat kejadian sore yang mengerikan itu.

"Waktu aku dipukulin sampai babak belur itu, aku terus mikir. Gimana caranya kabur, gimana caranya selamat. Akhirnya aku pakai metode yang katanya ampuh menghadapi beruang ganas. Pura-pura mati. Hehe. Mereka kaget, akhirnya kabur. Pas pura-pura itu, aku dengar mereka nyebut nama tempat. Setelah mereka pergi, aku langsung keluar. Kebetulan ada bapak-bapak yang lihat aku babak belur. Aku diantar ke rumah sakit lalu melapor ke polisi. Jangan pernah takut kalau nggak salah, Bhin. Bullying itu harus dihentikan. Merusak mental orang, belum lagi trauma mendalam dari korbannya." Cerita Asep dengan nada biasa.

Kenyataannya, setelah kejadian, Asep memang sempat tidak sadarkan diri. Ketika sadar, tubuhnya terasa sakit luar biasa terutama di bagian rusuk. Dia nggak sanggup bangun, apalagi berdiri. Dengan merayap di lantai, akhirnya dia berhasil keluar dari rumah kosong itu. Seorang bapak yang baru saja keluar untuk menyapu halaman, berseru kaget melihatnya. Kemudian, Bapak itu bergegas menolong melihat Asep yang nyaris pingsan untuk kedua kalinya.

Rusuknya patah di dua bagian, mukanya memar parah. Polisi pun menindak serius kejadian itu sampai akhirnya para pelaku tertangkap dan empat orang senior di sekolahnya di skorsing. Praktek pemalakan di sekolah pun berhenti.

Asep yang masuk sekolah setelah cederanya berangsur pulih, dianggap sebagai pahlawan kelas rendah. Mereka yang ingin melawan, tapi takut untuk bertindak.

Di balik sikap seenak-udelnya, Asep sesungguhnya peduli. Dia rela berkorban demi orang lain.

Bhin geleng-geleng kepala, melihat Asep yang asyik cerita sambil ngemil mangga asam itu.

"Sakit perut nanti kau." Katanya dengan raut ngeri.

"Sekalipun sakit perut, aku tetap urang ganteng, Bhin." Sahut Asep sambil tertawa.

"Ah, kamu mah urang aring, Sep. Hahaha." Bhin tertawa lalu berdiri. Bersiap masuk ke dalam rumah.

"Tapi, aku bangga sama kamu Sep. Kamu rela berkorban demi orang lain."

"Ah, nggak demi orang lain kok, Bhin. Demi diri sendirilah. Uang jajanku kan nggak banyak, eh diambil. Kan kasihan perutku kalau nggak bisa jajan." Asep nyengir tidak bersalah.

Tiba-tiba raut muka Asep berubah. Dia buru-buru berdiri, meninggalkan Bhin yang bengong melihatnya.

"Sep, beresin ini dulu. Jangan main kabur kamu," teriak Bhin.

"Beresin dong Bhin. Aku sakitttt perutttt." Asep cepat berlari ke arah kamar mandi. Meninggalkan Bhin yang marah-marah karena harus membereskan perlengkapan rujak Asep.

Di sudut rumah, Mbah tersenyum kecil. Rupanya beliau memperhatikan dua sepupu itu bercakap-cakap.

"Sepertinya, mereka sudah saling mengerti satu sama lain," gumam perempuan tua itu.

Sementara, matahari bersiap memancarkan sinar senjanya.

**

Parantos : sudah
Mopoheun : melupakan

**

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Where stories live. Discover now