Pertengkaran

597 71 0
                                    

Tomas' pov

Aku mengambil air mineral yang kutaruh di pinggir lapangan saat 15 menit istirahat. Kulihat teman-teman satu timku yang juga sedang minum air mineral dan mengusap wajah dengan handuk.

Mas Neno, kapten tim kami mengajak kami berkumpul dan membicarakan strategi mengalahkan lawan di babak kedua nanti. Skor sementara adalah 0-0.

"Kita akan memainkan formasi 4-3-2-1. Kau, Tomas akan menjadi penyerang. Sedang Moro dan Tino, kalian di bagian sayap. Aku, Deni dan Ino akan menjadi gelandang tengah. Sisanya menjadi bek. Aku yakin, kita pasti bisa mengalahkan mereka," kata Neno percaya diri sementara timnya mengangguk-angguk.

 Aku yakin, kita pasti bisa mengalahkan mereka," kata Neno percaya diri sementara timnya mengangguk-angguk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Formasi 4-3-2-1 artinya adalah 4 orsng bek dan 3 orang gelandang yang akan bertahan. 2 orang di bagian sayap, bertugas melambungkan umpan untuk penyerang. Formasi ini tergolong solid karena lawan akan kesulitan menerobos pertahanan dengan 4 pemain bek dan 3 pemain gelandang.

Aku mengusap keningku sekali lagi lalu bersiap masuk ke babak berikutnya. Pertandingan kali ini adalah penentuan kejuaraan sepakbola antar kampung. Dan aku berharap tim kami bisa memenangi piala juaranya.

Peluit berbunyi nyaring, kami segera masuk ke dalam lapangan. Babak kedua berlangsung sangat seru. Neno sempat terkena kartu kuning, namun kami bertahan. Aku akhirnya berhasil menyarangkan bola di gawang lawan tepat di menit terkahir. Skor menjadi 1-0. Kemenangan untuk tim kami.

Neno berteriak memelukku, lalu Moro, Tino dan yang lainnya sehingga kami bertumpuk di tengah lapangan. Aku tertawa keras, nyaris tidak percaya kami memenangi kejuaraan ini. Terbayar sudah latihan-latihan yang kami jalani satu bulan belakangan ini. Suporter kampung kami pun menyerbu masuk.

Tiba-tiba kurasakan aku diangkat lalu di lambung-lambungan. Ada perasaan geli dan juga bahagia. Tawaku membuncah. Apalagi ketika Neno sebagai kapten, mengangkat piala kemenangan. Bangga sekali rasanya.

Setelah selesai pertandingan sore itu, aku bergegas pulang. Hari ini Mbah ulang tahun dan kami diminta untuk berkumpul untuk makan malam bersama. Aku mencari Asep di antara kerumunan, katanya dia akan menontonku bertanding. Ah, itu dia Asep, aku bergegas jalan ke arahnya.

"Wohooo ini dia pahlawan kita. Wuih keren Bang. Selamat ya udah menang," seru Asep sambil mengajakku tos. Aku tertawa. Sungguh aneh, hari ini aku banyak tertawa. Ini sesuatu yang sangat jarang terjadi.

Asep memang belakangan sering menungguiku saat latihan. Biasanya dia sama Bhin. Kalau Bhin, udah pasti dia jajan. Mana ngerti dia sama sepakbola. Aku dan Asep pulang bersisian sambil membicarakan pertandingan yang baru lewat.

*

"Happy birthday, Mbah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Happy birthday, Mbah. Happy birthday, Mbah. Happy birthday, Mbah sayang. Happy birthday, Mbah." Serempak kami nyanyikan lagu untuk Mbah. Nggak lupa ada tiga video call dari orangtuaku, orangtua Asep dan orangtua Bhin-Tunggal, yang mengikuti acara ulang tahun Mbah malam ini.

Aku menatap Mbah yang tersenyum bahagia. Kerut di wajahnya memang sudah banyak, tapi itu nggak mengurangi kecantikannya. Sayang, anak-anak Mbah semua laki-laki. Kalau perempuan, pasti akan ada yang mewarisi kecantikannya.

Kami semua mengucapkan selamat pada Mbah yang berseri-seri gembira.  Wajahnya semakin bersinar ketika membuka hadiah dari kami semua. Sebuah kolase foto berbentuk hati. Seminggu belakangan, kami memang mengumpulkan foto keluarga dari segala penjuru. Kemudian Tunggal dan Asep mengeditnya sehingga membentuk kolase yang indah.

"Terima kasih anak-anak, kalian adalah cucu yang sangat Mbah sayang." Bibir Mbah bergetar menahan haru sementara di sudut mata siap mengalir air mata.

"Apalagi tadi sore, Tomas juga sudah membanggakan kita dengan menjadi pahlawan di kejuaraan sepakbola antar kampung." Setetes air mata haru keluar dari mata yang sudah merasakan pahit garam kehidupan itu.

Rarina lompat memeluk Mbah. Disusul oleh Bhin, kemudian Asep, Tunggal dan terakhir aku. Agak canggung juga saat adegan peluk-pelukan ini.

"Jangan lama-lama meluknya, nggak suka gue," desis Tunggal pelan tapi cukup terdengar olehku. Aku buru-buru melepaskan pelukan lalu duduk lagi di kursi dengan kaku. Sepertinya hanya aku yang mendengar ucapannya karena yang lain masih mengobrol dengan gembira.

Tunggal kembali duduk di kursinya yang terletak di seberang kursiku. Tatapan matanya sungguh dingin. Aku menerka-nerka, apa yang terjadi sampai dia begitu marah.

Selesai makan malam, Rarina meminta tolong padaku dan Tunggal untuk mengambil pencuci mulut. Kesempatan ini nggak aku sia-siakan.

"Hei, kenapa kau? Marah padaku?" Tanyaku pelan, takut terdengar yang lain. Tunggal mengangkat bahunya nggak peduli.

"Aku tahu kau nggak suka aku, tapi kesalahan apa yang kuperbuat sekarang?" Kejarku ingin tahu.

"Kesalahan lo adalah terlalu sombong jadi orang. Mentang-mentang memasukkan 1 gol, lantas lo besar kepala." Mata Tunggal berkilat-kilat. Ah, kini aku mengerti duduk perkaranya.

"Kau cemburu karena aku tadi disebut-sebut Mbah?" Tanyaku masih dengan suara pelan.

"Cih, ngapain gue harus cemburu. Gue nggak suka lo sombong gitu."

"Oh ya? Aku nggak ngerasa sombong. Kau saja yang berpikiran picik dan sempit. Aku memang menyumbangkan gol kemenangan. Tuhan dan para penonton kejuaraan juga tahu."

"Lo emang orang paling sombong yang pernah gue kenal." Sahut Tunggal masih keras kepala.

"Gue nggak sombong. Toh gue nggak berkoar-koar pakai toa masjid buat ngumumin kemenangan tim kampung kita. Juga nggak berkoar-koar bahwa gue yang nyumbangin gol. Sepakbola itu tentang kerjasama tim. Saat menang, semua berjasa." Aku menggelengkan kepala, nggak habis ngerti kenapa Tunggal bisa begitu marah.

"Kau lagi PMS (pra menstruation syndrome) ya?" Tanyaku lagi. Tunggal melotot mendengar pertanyaanku.

"Maksud lo apa? Gue kayak perempuan gitu?" Tunggal nggak terima dengan ucapanku.

"Itu kau yang ngomong. Bukan aku," tukasku cepat.

"Dasar tempe busuk." Aku tercengang mendengar ucapan Tunggal. Di rumah ini memang Mbah melarang kami memaki. Saat aku sedang mencerna apakah tempe busuk termasuk dalam makian, Tunggal mencoba keluar dari dapur dan sengaja menabrakku. Ini membuatku marah. Demi para tempe di dunia, orang ini menyebalkan sekali, pikirku.

"Heh otak kembang kol, kau harusnya ngaca. Kau itu iri tahu. Kayak anak-anak." Ejekku mulai berkata keras. Tunggal berbalik, wajahnya merah padam menahan marah.

"Apa kau bilang?"

"Otak kol busuk, apa sekarang kuping kau berjamur?"

"Eh lo ya jemuran basah. Gue nggak bakal iri sama lo. Buat apa? Nggak guna." Tukas Tunggal.

"Buat apa? Lah kenapa kau marah-marah kaya cucian nggak kering-kering?" Aku menatapnya bingung.

"Eh, kenapa sih? Siapa yang nyuci malam-malam?" Sambar Bhin yang melompat-lompat masuk dapur dengan penasaran karena kami terdengar ribut.

"Bukan apa-apa," sahutku dan Tunggal bersamaan. Kami saling lirik dengan ganas. Lalu kembali ke tempat pesta ulang tahun dengan raut muka dipaksakan tersenyum. Gara-gara gantungan baju miring itu moodku rusak, batinku sambil menyendokkan puding yang tadi kubawa dari kulkas dapur.

Tunggal memang nggak suka sama aku. Itu kusadari benar, tapi nggak pernah dia berkata seperti tadi. Aneh, menurutku.

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Where stories live. Discover now