Hore, Libur!

684 81 1
                                    

Bhin's pov

Aku buru-buru membereskan diktat dan catatan kuliah, ketika jam menunjukkan angka lima sore. Hari ini adalah hari terakhir sebelum libur semester.

Setelah berpamitan dengan teman-teman, aku bergegas menuju gerbang kampus dimana Asep berjanji akan menungguku. Nah, itu dia Asep, kataku dalam hati. Seperti biasa, Asep dikelilingi perempuan pemujanya. Sudah pernah aku ceritain belum ya? Kalau Asep ini paling banyak fansnya.

"Sep," seruku. Aku berlari menghampiri dengan wajah berseri-seri. Asep tertawa menyambutku. Kami ber-tos ala Asep dan Bhin, dibarengi dengan tatapan iri geropa-gerombolan pemuja Asep.

Setelah pamit pada para geropa, aku segera nangkring di motor Asep dan kami meluncur pulang.

"Yeaaay. Ayah Ibu datang, Sep. Aku senaaaaannng." Aku menjerit-jerit di telinga Asep.

"Nggak usah teriak-teriak dong. Nanti aku budik-budek dikit." Asep bersungut-sungut. Dia memang lebih menyukai ungkapan budik daripada budi. Kasihan katanya yang namanya budi kalau suka diledekin.

Hari ini orangtuaku dan orangtua Asep datang ke Jogja. Tomas pulang ke Medan kemarin. Rarina juga sudah pulang ke Pontianak tadi pagi untuk mengunjungi tantenya. Dua sahabat Mas Tunggal akan datang besok lusa. Bayangan rumah yang ramai membuat otakku sibuk membuat rencana.

Motor memasuki halaman rumah. Terlihat di luar orangtuaku sedang minum teh dengan teko gerabah kesukaan Mbah. Duh, kangennya sama mereka. Aku lompat dari motor bahkan sebelum Asep berhenti.

"IBUUUUUU," seruku. Aku memeluk Ibu, mencium wajahnya sampai rambutnya lalu memeluknya erat-erat. Ibu tertawa dan membalas pelukanku.

"Aduh, anak Ayah seneng banget ketemu Ibu sampai Ayah dilupain." Ayah tertawa sambil menyindirku.

"Ayaaaaaah," seruku. Aku memeluk Ayah lamaaaa. Yah, gimanapun aku kan anak Ayah. Boleh dong manja-manja sedikit.

Asep datang menyalami Ayah dan Ibu, setelah sebelumnya membuka helm dan merapikannya di tempat penyimpanan helm.

"Bulik, Paklik." sapa Asep dengan santun sambil mencium kedua tangan mereka.

Ayah dan Ibu memeluk Asep sambil menanyakan jadwal kedatangan kereta orangtua Asep.

Setelah membersihkan badan, aku ikut sholat Magrib berjamaah. Ayah menjadi imamnya. Ada rasa haru terbesit dalam hatiku. Betapa aku rindu dengan suara dalam berwibawa yang selalu tenang itu. Diam-diam aku mengusap air mata yang terbit di ujung mata.

Setelah sholat, Asep pergi menjemput orangtuanya. Dia membawa mobil tua kakek. Sementara itu kami yang di rumah mengobrol sambil menunggu makan malam yang akan disiapkan oleh chef Tunggal.

Suasana tambah ramai setelah Om Pras dan Tante Ika datang. Kami bersiap untuk makan malam. Mas Tunggal sebagai chef sudah sibuk di dapur sejak tadi sore. Tapi kok dia dari tadi nggak selesai-selesai ya. Aku mengendap-endap ke dapur, penasaran mau lihat masakan apa yang dimasak Mas-ku satu itu.

Pintu dapur tertutup. Tapi kok ada asap tipis keluar sih? Aku bergegas membuka pintu dapur. 

"Astagfirullah, Mas Tunggal! Ini masak apa? kok berasap gini?" Aku bergegas membuka jendela dapur dan mengambil kipas angin untuk mendorong asap keluar.

"Hitam, Bhin," kata Mas Tunggal.

"Hah?"

"Gosong masakannya. Puas?" Mas Tunggal malah sewot.

"Dih, kok marah sih? Emang Mas mau masak apa sih sampai kayak gini?" tanyaku penasaran sambil membolak-balik seonggok hitam di atas wajan.

"Ayam bakar. Cuma gue tadi whatsapp-an sama Bono. Lupa jadinya." Mas Tunggal memelas banget mukanya.

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Where stories live. Discover now