Malam Pertama

1.4K 160 10
                                    

Tunggal’s POV


Walaupun judulnya malam pertama, jangan harap gue cerita hal-hal yang nyerempet-nyerempet. Daripada ber-praduga, mendingan gue ceritain dari awal aja ya.

*

“Yogyaaaa, Alhamdulillah.” Seru Bhin sembari merentangkan tangannya sampai mengenai dada gue.

“Hoi, liat-liat dong. Kaget, gue.” Hampir saja gue terlompat. Si mungil yang berstatus adik gue ini, malah cengengesan tanpa rasa dosa.

Kami baru saja sampai di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Bhin sepertinya sudah lupa kesedihan berpisah dengan Ayah dan Ibu. Dia sibuk celingukan melihat dokar yang mondar-mandir di hadapan kami.

“Mas, numpak dokar yok,” ajak Bhin. Panasnya matahari setengah sore, membuat wajahnya bersemu.

“Gila kali, Bhin. Rumah Mbah, kan jauh. Bisa-bisa kita nggak sampai-sampai. Lumutan di jalan.” Gue ngomel-ngomel sambil sibuk ngangkatin barang-barang. Nggak banyak sih barangnya, soalnya Ibu bilang, untuk tempat tinggal sudah disiapin Mbah Putri. Jadi tinggal isi kamar sama baju-baju aja.

Sebelum gue lupa, gue dan Bhin terdampar di kota pelajar ini untuk belajar sama nemenin Mbah Putri. Nggak cuma kami berdua, masih ada tiga sepupu kami yang dititahkan untuk menemani Yang Mulia Mbah Putri Setiowidjojo.

Sebenarnya sih, gue agak malas ke sini. Pertama, gue terpaksa pindah kuliah. Kedua, gue juga pisah sama duo makhluk ajaib, Rono dan Bono. Mereka sahabat gue sejak SMP. Walaupun nama mereka seirama, jangan harap mereka serupa. Rono memiliki postur sedang-sedang saja. Bono sebaliknya, tubuhnya tinggi besar. Tapi tenang, cerita ini bukan tentang duo ajaib Rono dan Bono yang bakal bikin lo mual-mual.

Gue mutusin untuk naik taksi. Rumah Mbah Putri ada di ringroad utara Yogyakarta. Perbatasan antara Sleman dan Yogyakarta. Jelas, naik dokar ke rumah Mbah akan memakan waktu cukup lama daripada naik taksi.

Di perjalanan menuju rumah yang mulia Mbah Putri, Bhin masih tertawa-tawa melihat akun facebook-nya. Gue tersenyum masam, melihat Bhin asyik menertawakan foto dengan pose nggak banget itu. Saat dia lengah pasti gue hapus, itu tekad gue.

Sampai di rumah Yang Mulia Mbah Putri, Bhin langsung saja turun berlari disambut sosok tua yang masih terlihat sehat dan segar.

“Mbaaaaahhhhh,” teriak Bhin nggak tahu malu. Aku segera membantu pak supir taksi untuk menurunkan barang-barang, sambil berharap adegan Bollywood ala-ala ini nggak terlihat sama tetangga.

“Assalamu’alaikum, Mbah,” kata gue sambil mencium tangan Mbah, khidmat.

Mbah menjawab salam sambil tersenyum dan membawaku ke dalam pelukan mungilnya. Ah, gue lupa, bagaimanapun gue tumbuh besar, bagi Mbah, gue pasti masih kurcaci kecil yang suka menjajah pohon-pohon mangganya.

Kami masuk dengan melenggang. Catat, Bhin dan Mbah yang melenggang. Gue, sebagai laki-laki di situ, mengangkat semua barang-barang ke dalam. Rumah Mbah Putri, ada di sudut gang dengan halaman luas. Di dalamnya juga cukup luas dengan beberapa kamar. Memang sayang sih kalau rumah luas ini hanya diisi oleh dua orang saja.

Nduk, Kamu dan Tunggal istirahat saja dulu. Yang lain nanti datang sebentar lagi. Kita nanti makan malam bersama ya,” Mbah tersenyum lembut. Baiklah titah Yang Mulia nggak boleh dibantah, gue pun manggut-manggut sebelum balik badan dan masuk kamar.

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Where stories live. Discover now