Kisah Bando Kuning

1.2K 129 6
                                    

Rarina's POV

Orang bilang, kite dak tahu arti kehilangan sebelum mengalami. Aku baru sadar hal itu, sayangnya setelah kehilangan.

*

"Aseppppppp, Kamu lihat bando kamek yang warna kuning ke?" Aku bertanya ke Asep yang sedang melintas di depan kamarku.

Asep terlonjak kaget. Ember air pel yang dipegangnya bergoyang dan memerciki sebagian tubuhnya.

"Eleuh eleuh. Kunaon atuhlah teriak-teriak. Emangnya Asep ini budek. Kaget pisan ih." Asep marah-marah menjauh.

"Maaf, Sep. Kamek panik. Kau lihat ke?" Aku bertanya gugup. Asep menggeleng pelan sambil membawa ember pel ke belakang. Mukanya berlipat karena kesal dikagetkan.

Aku meremas tanganku. Jangan sampai bando ini hilang. Membayangkannya saja, aku nggak sanggup.

*

Ini sudah malam ke delapan bando kuningku hilang. Aku sudah menanyai Asep, Bhin, Tunggal, Tomas bahkan Mbah Putri. Tapi mereka tidak melihatnya.

Ingatanku ini memang payah. Jangankan barang, mengingat hari pun aku butuh berjuang. Tapi bando itu adalah barang berharga milikku. Ayah yang memberikannya dua tahun lalu. Mataku berkaca-kaca mengingat hal itu.

"Sudah ketemu bandonya, sayang?" Suara Mbah terdengar lembut. Buru-buru kuseka air mata yang menetes satu dua.

"Be-belum, Mbah," kataku terbata.

"Sabar ya, Ra. Insya Allah nanti ketemu." Mbah menyemangatiku. Aku mengangguk.

Memang, bando itu akhirnya ketemu. Di hari ke sepuluh. Di bawah pohon mangga yang sedang berbunga banyak, sebagin dari bando itu tertimbun dalam tanah. Syukurlah tidak patah, kataku dalam hati.

*

Sesudah makan malam, Bhin menemaniku menonton televisi. Tidak ada tontonan yang menarik. Tiba-tiba kurasakan, ada yang memperhatikan. Pelan-pelan aku menoleh.

"Astaghfirullah Bhin, kejot kamek liat kau macam tuh, ngape beh?" Aku terlompat kaget melihat Bhin duduk bertopang dagu memperhatikanku dengan mata melotot. Dia tertawa terkekeh-kekeh.

"Seru, Ra. Lihat kamu kaget sampai kayak mau lompat. Hahaha," manusia jahil ini tertawa bahagia. Aku manyun.

"Eh, Ra. Aku udah lama nih penasaran." Wajah Bhin menjadi serius.

"Penasaran ngapeee? mintakk amponn. Maseh bedegopp jantong kamek nihh, sawannn." Aku mengelus dada. Dadaku ya, bukan dada Bhin. Amit-amit deh.

"Bando, Ra. Kenapa sih kamu panik banget? Kalau hilang kan wis, tinggal beli lagi di pasar," kata Bhin.

"Bukan bende ee yang biase. Bukan gak soal harge bhin. Tapi tentang kenangannye." Mataku menerawang jauh. Mengingat masa silam. Masa yang seakan-akan berasal dari mimpi. Bhin menatapku penasaran.

Untuk pertama kalinya, aku bercerita pada sepupu yang jarang kutemui sebelumnya.

"Bendo tuh bah bapak yang ngasik. keluarge saye nih bukan gak keluarge kaye, buat nyekolahkan anak-anaknye, Bapak tuh mesti kerje keras. ketike mamak meninggal lebeh dari limak taun lalu, Bapak tuh macam tegamang. lalu bapak tuh macam menghindar dari saye."

"Saye nih anak songsorang, seumur hidup saye nih selalu dapat kaseh sayang dari mak bapak, tapi pas mamak meninggal lalulah macam kehilangan kaseh sayang." Aku mengusap air mata yang mulai menetes.

Bhinneka Tunggal Family (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora