1. Pertemuan

44.6K 2.2K 65
                                    

Nasib Drian sebagai murid baru sepertinya sedang diuji pada Rabu pagi ini, saat mendapati sebaris remaja cewek sengaja berjalan melintang pada jalur yang terbilang sempit ini. Entah saking asyiknya mengobrol atau bagaimana, sehingga mereka tak mendengar suara motornya.

"Disuruh jalan agak cepet, nggak mau. Disalip, juga nggak rela. Maunya apa, sih!?" Terdengar gerutuan pelan dari seorang cewek, saat ia menghentikan motor.

Tin! Tin!

Cowok itu membunyikan klakson saat tak ada tanda-tanda barisan di depannya akan terurai. "Maaf. Bisa minggir sebentar? Lagi buru-buru nih," ujarnya.

Para remaja yang berbaris itu sontak menoleh. Dan seolah sudah diberi aba-aba, membagi diri menjadi dua kelompok, lalu menyebar ke sisi kanan dan kiri jalan. Tampak pula penggerutu di sebelahnya menoleh. Tersenyum seolah berterima kasih padanya, lalu kembali ke tatapan awal.

"Baik sama orang kok pilih-pilih!"

Meski pelan, Drian dapat mendengar gerutuan itu. Ditatap dan diikutinya langkah cewek berambut panjang yang semakin hilang ditelan jarak pandang tersebut. Tampak tak kesulitan berjalan, meski mengenakan rok panjang. Ia pun mulai melajukan motor kembali. Meninggalkan para cewek yang baru saja menyoraki objek pandangnya.

***

Sore ini, Rara menyusuri jalan yang memang selalu dilalui saat berangkat maupun pulang sekolah. Kecuali tadi pagi, karena lewat jalur lain, setelah tadi malam menginap di rumah sepupunya. Kakinya berjinjit kecil, memperingan beban tubuh kurusnya. Dengan rambut dikucir yang sedikit terkibas akibat terpaan angin, ia masih berjalan lurus. Bersenandung kecil, mengikuti irama alam.

Matanya mendapati orang tak dikenal. Dengan celana panjang berwarna abu-abu serta kemeja putih, sosok itu masih celingukan di perempatan jalan. Ia mendekat dengan ragu. Memastikan bahwa objek pandangnya bukanlah hantu. Semakin ia mendekat, maka terdengarlah gerutuan yang semakin jelas.

"Ada yang bisa dibantu?" tanyanya hati-hati, menampilkan senyum terbaik yang ia miliki.

Cowok di hadapannya menoleh. Menatap dari ujung kaki ke ujung kepala. Menilai, lebih tepatnya. Lalu tersenyum manis. "Bisa nganterin sampai Jalan Jati, nggak? Soalnya gue baru aja pindah ke sana. Gue juga belum hafal jalanan di sekitar sini."

"Jalan Jati? Emm... agak jauh, ya?"

"Gimana? Mau apa nggak? Soalnya dari tadi belum ada yang lewat sini. Ada sih, kendaraan. Tapi mereka nggak mau berhenti."

Rara bimbang. "Gimana, ya?"

Cewek itu sudah sering mendengar berita kejahatan dalam berbagai kedok, termasuk dari berita yang ia saksikan di televisi. Bisa saja, ini salah satunya. Apalagi, rambut lawan bicaranya tersebut dibiarkan acak-acakan begitu saja, belum memberi kesan baik-baik. Ditambah lagi, satu anting hitam bertengger di telinga kiri. Dasi, tak berada tepat pada tempatnya.

Namun, ia tak boleh berpikiran negatif. Apalagi, cowok di hadapannya itu masih mengenakan seragam SMA. Tidak mungkin orang tersebut hanya menyamar. Akhirnya Rara memutuskan untuk mengangguk, meski masih ragu.

"Iya, mau. Cuma sampai rumah kamu aja, kan?" tanyanya, memastikan bahwa keputusannya tak salah. Gaya bicaranya pun mendadak formal, karena ia sedang berhadapan dengan orang asing. Jika salah bicara sedikit saja, entah bagaimana nasibnya ke depan.

"Iya. Cuma ngasih petunjuk jalan ke rumah gue," jawab cowok itu. "Sekarang, naik!" pintanya.

Rara masih menatap motor matic di depannya, ngeri. Ia tak mungkin ikut naik. Mereka saja baru –bahkan belum kenal. Bukannya berpikiran negatif, meski gelagatnya menunjukkan demikian. Hanya saja, ia memang masih ragu akan keputusan yang diambil.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now