6. Kontes

19.2K 1K 26
                                    

SMA Semesta sedang sibuk mempersiapkan acara tahunan, kontes Pangeran Sekolah. Di mana setiap kelas wajib mencalonkan dua partisipan putra untuk meramaikan acara. Itu pula yang kini sedang dibahas di kelas 12 IPS-3.

Meski ada kontes serupa di waktu berbeda yang dikhususkan untuk para murid putri, tetap saja kontes inilah yang paling ditunggu-tunggu dan akan berlangsung lebih meriah. Sehingga akan disambut dengan lebih antusias, baik oleh para peserta maupun panitia.

"Yang pasti, gue pencalon pertama." Dedengkot kelas, Roy, mengajukan diri.

Meskipun belum pernah memasuki babak final dalam penyelenggaraan kontes Pangeran Sekolah, cowok itu selalu mencalonkan diri.

Selain memang over percaya diri, ia sudah memiliki keyakinan bahwa suatu saat akan memenangkan kontes tersebut, entah kapan. Apalagi ini kesempatan terakhir baginya, mengingat ia sudah kelas dua belas.

"Roy sih nggak perlu ditanyain, udah nyalonin diri duluan," ledek Yogi.

"Satu lagi, siapa? Ditya?" tanya Farhan, sebagai moderator.

"Gue nggak pede ikut begituan."

Lain Roy, lain lagi Ditya. Ditya, cowok yang tentu lebih menjanjikan attitude maupun rupanya, justru over minder. Sekali saja, cowok ini belum pernah mengikuti kontes tersebut, selama berstatus menjadi siswa di sekolah ini.

"Siapa, dong? Nggak mungkin gue atau cowok lain. Nggak ada waktu." Farhan menambahi, mengingat beberapa cowok yang ada di kelas ini sebagian besar masih menjadi pengurus OSIS.

"Kenapa bukan Sasha aja?" Roy menarik-turunkan alisnya. "Eh, Sasha cewek ding! Jadi nggak bisa ikut," lanjutnya, sebelum tatapan tajam dari para temannya berubah menjadi lebih mengerikan.

Yogi berdecak kesal. Hampir melempar kamus yang ada di tangannya pada Roy.

Mereka terdiam, saat mendengar suara ramai di luar, tak jauh dari posisi kelas ini. Suara para adik kelas yang terdengar familier selama hampir dua bulan terakhir.

"Kak Drian, aku minta nomer WA, pin BB, sama ID Line-nya, ya? Oh, iya. Akun Instagram-nya sekalian, Kak."

"Kak Drian ganteng, deh."

"Kak Drian ntar jadi calon suami aku, ya?"

Begitulah suara-suara yang berhasil mengendap di telinga.

Beberapa saat lalu, Drian keluar kelas menuju ruang guru untuk mengumpulkan tugas sosiologi, karena cowok itu tertinggal dari teman-temannya. Alhasil, banyak penguntit yang kini mengejar sekaligus merayunya secara terang-terangan. Pun tangan mereka yang ikut bertindak melampiaskan rasa gemas kepada cowok itu.

Drian hanya menanggapi dengan senyum, saat mendapat godaan seperti itu. Risiko menjadi anak baru yang ganteng. Begitulah kata Roy, ketika mendapati para adik kelas mereka mengejar Drian.

Tatapan seisi kelas beradu, saat suara itu kian terdengar jelas. Bermusyawarah melalui kontak mata juga tanpa kata-kata, dan mendapat satu kesepakatan.

"Kapten!" ujar mereka bersamaan.

"Kenapa nggak kepikiran dari tadi, ya? Padahal penggemar dia udah banyak banget," gumam Farhan.

"Jelas banyak penggemar. Siapa dulu, temen semejanya!?" Yogi membanggakan diri tanpa dasar.

"Halah, nggak ngaruh kali!" cibir Roy.

"Gimana, Roy? Siap bersaing dengan Drian?" tanya Farhan, tersenyum pada Roy.

"Cuma Drian, kok. Nggak gentar, gue."

Garis InteraksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang