15. Rencana

11.3K 840 2
                                    

Saya: Sori ya akhir-akhir ini jarang bisa ketemu

Bedak Bayi: Iya santai aja. Gue malah seneng kok

Saya: Minggu besok jalan santai pagi yuk

Drian mengetik satu pesan itu dengan antusias. Mengabaikan balasan yang sama sekali tak enak dibaca itu. Lalu menunggu balasan dari pesan yang baru saja ia kirim.

Bedak Bayi: Ayo

Ia tersenyum manis, Rara tak menolak ajakannya. Lalu mengetik balasan dengan segera, sebelum cewek itu berubah pikiran seperti biasanya.

Saya: Rutenya ke mana?

Bedak Bayi: Yang ngajak juga siapa?

Belum juga cowok memikirkan satu kemungkinan tersebut, Rara sudah membalas demikian.

Saya: Ditanya malah balik nanya

Bedak Bayi: Hihi. Kalo dulu gue ke bukit. Tapi udah lama gak ke sana. Jauuuh

Saya: Tapi kayaknya kalo bisa liat sunrise keren. Gimana kalo ke bukit aja?

Entah mengapa, tiba-tiba Drian kepikiran hal tersebut. Kemudian senyam-senyum sendiri membayangkan suasana berdua Rara nanti, dengan sunrise sebagai background-nya. Tentu, akan menjadi suasana yang tak terlupakan baginya.

Bedak Bayi: Tapi harus berangkat pagi banget, kalo mau liat sunrise. Gue juga belum pernah liat. Gak berani jalan pagi buta sendirian.

Saya: Kalo gtu kita ke bukit ya? Biar bisa liat sunrise. Mau?

Bedak Bayi: Gue sih ayo aja kalo ada temennya. Tapi kan dari rumah kakak jauh. Trus dari rumah gue minimal 1/2 jam. Belum lagi naik bukitnya bisa ¼ jaman. Mau berangkat jam berapa emang?

Saya: Pokoknya sebelum subuh udah sampe rumah Rara

Bedak Bayi: Berarti abis solat subuh langsung berangkat dari rumah gue?

Saya: Yap. Atau kalo gak, kita solat di musola deket perempatan biasa aja gimana?

Bedak Bayi: Ok deh. Gitu juga boleh

Saya: Jangan lupa minta izin

Bedak Bayi: Ok

Saya: Sip. Lagi apa Ra? Kok tumben belum bobo?

Bedak Bayi: Lagi nyantai aja n belum bisa bobo. Kakak lagi apa?

Saya: Abis belajar kelompok di rumah temen trus ini lagi di jalan

Tak ada balasan.

Cowok itu tadi mengira bahwa Rara akan membalas secara gila-gilaan, seheboh mungkin. Atau menghubunginya. Lalu mengomel tanpa terputus, karena mengkhawatirkan keselamatannya yang nekat berkomunikasi saat berkendara. Namun, dugaannya meleset. Benar-benar jauh dari perkiraan.

Kok gak bales? Bukannya dikuatirin malah dicuekin

Udah bobo?

Masih belum ada balasan. Mau tak mau, cowok itu harus menyimpan ponselnya pada jaket yang ia kenakan. Konsentrasi dan perhatiannya kini benar-benar terpusat pada jalan yang sedang ia lalui, tanpa terbagi lagi.

Drian mengeluarkan ponsel dari saku jaket, setibanya di rumah dan memarkirkan motor. Berulang kali cowok itu mengucek mata. Sama sekali belum memercayai apa yang tertangkap oleh indera penglihatannya saat ini. Rara ternyata membalas pesannya!

Udah sampe rumah?

Drian tak bisa menyembunyikan senyumnya, sebelum akhirnya men-dial nomor si pengirim. Lalu duduk di pinggiran kursi terdekat secara sembarang.

"Wa'alaikumsalam. Iya, ini baru aja sampai rumah dalam keadaan sehat walafiat. Belum tidur?" tanyanya.

"Kalau udah tidur ya nggak bakalan ngangkat telepon."

"Kok tadi SMS-nya nggak dibales?" tanyanya lagi, mengabaikan jawaban barusan.

"Emmm, gimana, ya? Kalau dibales, bisa aja Kakak jadi main hape terus. Terus nggak lihat jalan. Bahaya. Mending nunggu Kakak sampai rumah, deh."

Drian tersenyum samar. Diam-diam Rara mengkhawatirkan dan memperhatikan keselamatannya, meski dengan cara yang lain dari yang lain. Bukan diceramahi secara habis-habisan, melainkan hanya didiamkan begitu saja agar tangannya tak bermain ponsel dan bisa berkonsentrasi pada jalan. Ada-ada saja, pacarnya ini!

"Khawatir, ya, Yang? Kenapa nggak langsung ngomel-ngomel aja, tadi? Gue siap dengerin, kok," pancingnya.

"Terus pas gue ngomel, Kakak dicium aspal. Baru tahu rasa!"

"Ih, kejam banget!" sahut Drian tak percaya ada jawaban semacam itu. "Bilang aja Rara nggak rela gue dicium aspal," lanjutnya menggoda.

"Sayang aspalnya."

"Makin kejam." Kini terdengar suara cekikikan dari seberang. "Kok ya ada, pacar yang kejam banget kayak Rara gini?"

"Ya makanya, diputusin aja. Terus cari yang nggak kejam, tapi perhatian."

Drian tersentak. Ia salah bicara. Dan perkataannya beberapa saat yang lalu, tak bisa ditarik kembali.

Meski bukan pertama kalinya saran seperti itu dilontarkan Rara, namun tetap saja Drian tak suka. Jika memang rasa sayangnya bisa dinalar, ia pasti sudah melaksanakan saran itu sejak jauh-jauh hari tanpa harus diminta.

Beruntung, ia sudah tak terpengaruh. Sebab, itu bisa memanaskan hubungan keduanya, jika dibahas terus menerus. Beruntung pula, suasana hati Drian sedang dalam keadaan baik, meski sedikit terusik.

"Daripada ngomongnya makin ngelantur, mending Rara tidur aja. Udah malem."

"Kok ngelantur? Gue nggak ngelantur, Kak. Emang bener, masih banyak cewek yang nggak sekejam gue. Udah gitu pasti cantik, seksi, putih, tinggi, modis, baik, ramah, bisa bersikap manis, dan perhatian. Nyegerin mata, lagi."

"Produk apaan, Ra? Kok semangat banget, promosinya?" Bukannya tak mengerti. Akan tetapi, Drian memang tak ingin menanggapi. Ia tak suka dengan arah pembahasan semacam ini. Pasti selalu berujung pada kejengkelan, bahkan amarah.

"Kok produk? Yang barusan gue sebutin itu, itu semua kriteria cewek idaman yang harusnya jadi referensi buat Kakak kalau nyari pacar."

"Berarti kalau nyari calon istri, nyarinya yang kayak Rara gini?"

"Ng... nggak juga. Selain jadi referensi buat jadi pacar, yang tadi itu juga kriteria buat dijadiin istri. Pacar kayak gitu pasti nggak malu-maluin, pas diajak jalan. Nggak norak. TOP banget, pokoknya! Pasti bisa bikin Kakak seneng."

Drian mendesah lelah, juga pasrah. Cantik, tinggi, putih, modis, nggak norak, bisa bikin seneng. Itu apa, maksudnya!? Memangnya kenapa, kalau ia memacari Rara? Ada yang salah? Ada yang salah, jika ia memacari cewek yang bisa membuatnya merasa lebih manusiawi? Salah, jika ia mempertahankan apa yang memang ingin dipertahankan?

"Pacaran sama cewek yang nggak malu-maluin itu banyak untungnya, lagi."

"Nggak usah ngerusak mood deh, Ra." Drian mulai terpancing. Ia menghela napas panjang, menetralkan suasana hatinya. "Udah ya, sampai sini aja ngelanturnya. Ini pasti efek udah ngantuk. Mending tidur aja. Jangan-jangan ini malah udah ngigo."

"Kok ngigo? Ini masih sadar. Banget, malah."

"Udah, nggak usah dibahas lagi. Buruan, tidur. Udah malem."

"Kak." Suara itu terhenti, lalu terdengar helaan napas. "Ya udah deh, gue tidur dulu. Kakak tidur juga, ya."

"Iya. Sampai ketemu di hari Minggu, Sayang. Tapi ntar jangan lupa ketemu di mimpi, ya. Love you so much, pacar yang kejam. Mmmuach!" Drian menegaskan bahwa perkataan Rara beberapa saat yang lalu itu tak sedikit pun memengaruhinya. Ia menunggu tanggapan. "Yaaah, nggak dijawab," gumamnya. Sudah tahu sifat Rara seperti itu, masih saja digoda!

Ia menghela napas panjang, seusai sambungan telepon benar-benar terputus. Berharap hal seperti tadi tak akan dibahas kembali. Sudah cukup. Dan malam ini, terakhir kalinya Rara meminta untuk lepas dari genggaman.

***

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now