12. Cemburu

13.3K 912 7
                                    

Getaran ponsel membuat Drian tersadar. Matanya kini mendapati beberapa pesan dari nomor tak dikenal, dengan isi yang hampir sama, yaitu "Kak, lagi apa?", "I love you, Kak", atau "Kakak udah makan, belum?", dan sederet pesan tak penting lainnya.

Jika saja pesan-pesan seperti itu dikirim oleh Rara, tentu akan terasa berbeda. Bukan rasa bosan dan kesal seperti saat ini.

"Hape Kakak rame banget, ya?" tanya Rara. Tentu saja heran, karena ponselnya tak seramai itu. Biasanya, ia hanya menerima pesan dari Bia, Yuna, atau Ikha. Jika ada nomor lain, paling hanya orang iseng. Seperti Al, dulu.

"Ya, gitu. Dan nggak ada yang penting."

"Kok?"

"Nih, baca aja." Drian menyodorkan telepon selulernya kepada Rara.

Rara lantas membaca tulisan pada layar. "Kakak udah makan?"

"Udah." Meski maksud cewek itu hanya membaca, namun Drian menjawab sambil senyam-senyum. Ia bisa memastikan suaranya tak terdengar oleh cewek itu.

"Lagi apa, Sayang? I love you."

"Lagi lihatin Rara tersayang. I love you too."

Rara terkikik geli. "Ternyata banyak yang perhatian sama Kakak," komentarnya, seraya menyerahkan telepon genggam kepada pemiliknya. Sama sekali tak merasa aneh dengan pesan yang baru saja ia baca.

"Ya gitu deh, Ra. Tiap hari dapet SMS kaya gitu terus, sampai gue bosen banget!" sahut Drian. "Cemburu dong, Ra. Pliiis!" harapnya dalam hati.

"Oh, berarti mereka emang pantang menyerah, Kak."

Drian terperangah, Rara sama sekali tak terbakar. "Itu masih mending. Ada yang lebih parah. Nembak lewat telepon. Malem-malem. Belum lagi pas ketemu, sampai meluk-meluk segala!"

Rara diam, mendengarkan lawan bicaranya secara saksama.

"Ra, tolong ya, gue lagi ngode! Rada ngerti dikit, napa?" gumam Drian dalam hati. "Mana lagi, tiap ke kantin, ada aja yang nawarin mau nyuapin. Sukarela mau nraktir. Terus pas pulang, ngajak jalan. Mereka maksa, Ra. Sering."

Drian akan memanaskan suasana. Karena ada saatnya kebahagiaan datang pada seseorang yang dicemburui pasangan. Ini, yang tengah ia usahakan.

Konyol, memang. Mengingat pasangan normal lain menghindari kecemburuan pasangan, ia justru bersikap sebaliknya. Bahkan, ia sering berharap Rara meminta telepon selulernya ketika benda miliknya itu berdering, lalu mengecek dengan curiga. Akan tetapi, boro-boro!

Ia marah atau pura-pura mengambek saja, hanya dibiarkan. Bukan dirayu-rayu agar marahnya mereda. Padahal, niatnya ingin mencari perhatian. Tetapi, dirinyalah yang akhirnya terpaksa menyerah. Sebab, Rara pasti memintanya untuk mencari cewek lain yang lebih perhatian. Sebuah saran yang sama sekali tak berbobot!

"Ra," panggil Drian, saat Rara tak memberi tanggapan. Justru ia khawatir jika Rara berpikir macam-macam. "Kenapa?"

Rara menggeleng. "Nggak kenapa-napa. Kakak lanjut aja, ceritanya."

"Nggak, deh. Gue nggak mau Rara salah paham. Gue nggak pernah jalan sama mereka. Gue nggak pernah selingkuh, Ra. Beneran!" Bukan masalah dicemburuinya. Akan tetapi, tanggapan yang akan Rara berikan memang sama sekali tak ia harapkan.

"Emangnya siapa yang nuduh Kakak selingkuh, sih? Kalaupun Kakak jalan sama mereka, itu hak Kakak. Gue nggak berhak ngelarang." Nah, ini! Tanggapan Rara masih seperti biasa.

Begitulah, hubungan keduanya. Semakin terang-terangan Drian menunjukkan perasaannya, semakin terang-terangan pula Rara memberi kode agar dilepaskan. Dikejar, semakin menjauh. Dibiarkan, kian hilang.

Akan tetapi, tanpa dilarang berpaling pun, Drian tak mau serta tak bisa berpaling. "Gue sayang banget sama Rara. Pengen bikin Rara sayang sama gue juga."

"Tapi gue emang udah sayang sama Kakak, kok."

"Sebagai?"

"Kakak."

"Cuma kakak? Bukan pacar?"

Lagi-lagi, Rara mengangguk. "Iya. Kan Kakak yang selama ini udah jagain gue."

Drian tersenyum. "Makasih."

"Buat apa?"

"Buat kesempatannya. Maaf, kalau selama ini udah bikin Rara nggak nyaman."

"Kalau Kakak bikin nggak nyaman, mungkin gue nggak mau berhubungan sama Kakak lagi. Gue juga mau minta maaf sama Kakak, buat sikap gue selama ini."

"Wajar kali, Rara gitu. Gue aja yang nggak pekaan, kalau ternyata keberadaan gue itu ganggu. Sekali lagi, gue minta maaf."

Rara tersenyum. Ia paham betul, Al sebenarnya hanya orang yang sengaja dikirim Tuhan untuk menemani sepinya menjadi anak tunggal, sekaligus selingan selain berlatih olahraga voli. Juga untuk menyadarkan bagaimana sikapnya terhadap orang-orang yang mengenalnya sebelum cowok itu, selama ini.

Suasana mendadak hening dan canggung.

"Emang tadi kita ngomongin apaan sih, sampai ada acara maaf-maafan gini?"

"Eh iya, ya? Jadi ngelantur, ngomongnya. Seinget gue sih, ngomongin hubungan kita," sahut Drian dengan wajah memerah. "Udah asar, nih. Yuk, salat!" ajaknya.

Rara nyengir. "Lagi nggak."

Drian lalu beranjak untuk menjalankan kewajiban, setelah mengangguk paham. Meninggalkan dan membiarkan Rara bermain bersama Nara, meski sesekali cewek itu tampak bermain telepon seluler. Namun, ia tak tahu bahwa sebenarnya pikiran Rara tengah berkelana jauh. Lalu kembali, selepas melaksanakan kewajiban. Mendapati pacar tersayang sudah tertidur pulas dengan posisi sembarang, di tempat ini.

Wajah manis itu tampak lelah, bersebelahan dengan Nara yang juga tertidur. Dan terkadang, keadaan semacam ini memberikan akses bagi makhluk dari dunia lain yang selalu membisikinya untuk mengambil 'sesuatu' yang belum menjadi haknya.

Drian menggeleng. Otaknya masih bisa diajak kompromi, meski hampir saja hilang kendali. "Ntar deh, kalau udah nggak ada beban dosanya." Ia memilih berlalu, mengambil sebuah bantal, kemudian kembali lagi.

Cowok itu mengangkat kepala Rara, menyelipkan bantal yang baru saja ia ambil. Lalu menetap. Memandang wajah cantik nan polos itu dengan senyum yang mengembang pada bibirnya. Entahlah, ia suka melihat wajah Rara yang sedang tak siap semacam ini. Lebih manis, meski akan menjengkelkan ketika sudah bangun.

Ada yang sengaja menjauh, biar direngkuh. Pura-pura menghindar, supaya dikejar. Atau sengaja menghilang agar dicari dan ditemukan. Sedangkan baginya, Rara tak pernah ke mana-mana. Ia masih menatap wajah itu.

"Tapi justru ini yang ngecoh, Ra. Karena gue belum tahu hati Rara itu ada di mana."

Kini, jarak di antara mereka memang layaknya benda dan bayangan ketika tepat pukul 12 siang. Di mana keduanya berada pada satu garis yang sama, juga tak berjarak. Seperti hubungan mereka selama ini, yang tiada jarak. Akan tetapi, bayangan itu sama sekali tak tampak dalam sudut mata. Begitulah, hati Rara yang belum bisa Drian raih.

¯¯¯

Garis InteraksiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt