11. Drian

12.6K 927 5
                                    

Berhasil! Akhirnya cowok itu berhasil mengejutkan Rara, meski bukan pada saat yang sebenarnya diharapkan.

"Mana ada, pecandu narkoba bisa menang acara kayak gituan? Sinting kali, jurinya!" gumam Rara berkomentar.

Mulut Drian menganga, lalu menormal kembali. "Maksud gue, narsis dan kocak banget."

"Oh. Gue kira narkoba yang itu." Rara memusatkan perhatian pada proyek jahitan kembali. "Ada ya, cowok yang segitu sempurnanya?" lanjutnya, bergumam heran.

"Emangnya ada masalah, sama kesempurnaan yang dimiliki Drian?" tanya Drian penasaran, juga geli. Ia harus tetap menahan diri agar tak menertawakan diri sendiri.

"Nggak ada, sih." Rara hanya merasa ngeri saja, kalau suatu saat bertemu cowok seperti Drian begitu. Dalam bayangannya, cowok ganteng yang normal ya jadi bertindak seenaknya. Apalagi, bayangan cowok seperti Drian itu terlalu fiktif.

Rara membuat simpul pada benang agar tak mudah lolos, sebagai sentuhan terakhir.

"Nggak sesempurna yang dibayangin juga, kok. Dia tetep manusia biasa, kayak yang Rara bilang. Tapi emangnya Rara nggak berharap kalau Drian bakalan naksir Rara? Ya, kebanyakan cewek sih emang berharap buat bisa deket sama Drian. Emangnya Rara nggak mau nyari peluang itu? Peluang buat dilirik sama Drian, mungkin?" selidik Drian.

"Selesai!" gumam Rara semringah, saat proyek jahitannya selesai. Namun, ia pun harus segera menyadari pertanyaan yang tertuju padanya.

"Ngapain juga berharap buat dilirik, apalagi ditaksir Drian? Emangnya gue kurang kerjaan?" sahutnya, seketika membuat lawan bicaranya membulatkan bola mata.

Rara pikir, sudah banyak yang mengidolakan Drian. Kenapa tak melirik dan memilih salah satu dari mereka? Dan ia yakin, Drian tak mungkin mencari orang yang tak pernah muncul di hadapan.

"Kecuali, kalau dia emang kurang kerjaan," lanjutnya, kemudian membereskan sisa-sisa jahitan.

Mulut Drian kontan terganga. "Ini yang diomongin di depan mata, Ra!" ucapnya dalam hati. Ia tentu saja harus kian meluaskan lautan kesabaran.

Rara pun melanjutkan bahwa ini bukan film televisi, drama Korea, maupun novel yang dikatakan oleh salah satu temannya --dalam hal ini, Ikha-- hampir selalu menyajikan hal-hal semacam itu. Seorang idola yang digandrungi para remaja, tiba-tiba muncul di hadapan, lalu menyukainya dengan alasan yang tak masuk akal. Itu konyol!

Ia hanya mau berpikir secara realistis saja. Cewek yang bisa mendekati Drian, pasti hanya cewek-cewek kelas eksklusif, bukan primitif. Lagi pula, mana sempat cowok itu mencari cewek tersembunyi sepertinya?

"Kalaupun sempet, gue mau dijadiin apa, coba? Pajangan?" Rara benar-benar tak menyadari perubahan pada raut wajah Al, saat satu per satu kalimatnya terlontar.

Mulut Drian kian ternganga, dengan ekspresi yang sulit diartikan. Apakah dirinya sefiktif itu, di mata pacarnya sendiri?

"Kabarnya lagi, dia kan udah punya pacar. Gue juga nggak mau jadi selingkuhan, simpenan, atau bahkan perusak hubungan orang, kalau misalnya cowok yang namanya Drian itu nemuin gue. Terus, apesnya dia naksir gue. Nggak kebayang," lanjut Rara seraya terkekeh.

Drian mengangguk lemah sekaligus mengembuskan napas berat. Teringat bahwa ia tak sendiri lagi. Ada Rara yang kini mengisi kekosongan di hatinya.

Namun, ia harus menyadari kenyataan bahwa seberapa ganteng dan memesonanya Drian, Rara tetap tak mengetahui. Tentu ia kecewa. Tetapi, itulah bukti bahwa Rara memandangnya dengan cara lain, tanpa melihat profilnya.

Setelah banyak remaja yang menganggapnya bak malaikat, kini ia justru merasa lebih manusiawi berada di hadapan cewek yang baru saja menaruh benang dan jarum pada sebuah kotak kecil itu.

"Emangnya Rara nggak nyari pacar yang sempurna?" tanya Drian, memastikan.

Rara menoleh. "Emangnya definisi sempurna itu apa, Kak?" Bukannya menjawab, cewek itu justru balas bertanya.

"Ya kayak yang dibilang sama orang-orang."

Rara terdiam, menerawang. Baginya, kesempurnaan yang dikatakan kebanyakan orang, sepertinya sudah salah kaprah. Menganggap bahwa sempurna itu harus seperti Tuhan. Mau bagaimanapun caranya, sulit. Bahkan, tak bisa. Ia pun justru geli, setiap kali mendengar orang mengungkit-ungkit kesempurnaan.

"Ada yang minder, karena punya kekurangan. Ada juga yang terlalu percaya diri bahkan cenderung sombong, kalau udah punya banyak kelebihan. Semoga kita nggak masuk ke dua kategori yang gue sebutin." Cewek itu tersenyum pada Al.

Sepengetahuannya, definisi sempurna bagi kebanyakan orang adalah sempurna layaknya Tuhan. Meski ia tak memungkiri kenyataan, bahwa pada dasarnya manusia terlahir menjadi makhluk paling sempurna dibanding makhluk Tuhan lainnya. Hanya saja, mungkin ada yang sering terlupa.

"Sempurna yang tanpa cacat dan tanpa batas, itu hanya milik Tuhan. Sedangkan kesempurnaan manusia, pasti punya batas. Mungkin, batas itu yang sering kita sebut kekurangan atau kelemahan," terang Rara, tanpa menghiraukan tatapan terkesima cowok di sebelahnya. "Berasa kayak orang bener aja gue ngomongnya," lanjutnya terkekeh.

Drian masih menatap cewek itu. Terkesima, tak terpengaruh pernyataan terakhir.

"Kalau gue mau punya pacar sempurna, ya gue pacaran aja sama Tuhan."

Barulah Drian tersadar, karena merasa Rara tak menganggapnya sebagai pacar. "Tapi pacaran sama gue, kan? Nggak cuma sama Tuhan yang Maha Sempurna itu?"

"Hahaha. Kakak sih emang aneh."

Aneh? Drian terperangah, tak terima. "Terus, sebenernya Rara nyari pacar yang gimana, kalau gue aja dibilang aneh?"

Drian akhirnya tahu satu hal. Bahwa Rara belum pernah berpacaran sebelumnya. Itu berarti, ialah orang pertama yang memberikan pengalaman berpacaran bagi cewek itu. Maka, sekarang ia tak heran mengapa Rara berubah ketus dan judes saat ia meresmikan hubungan secara sepihak, dua bulan yang lalu.

Namun, itu sama sekali tak mengurangi rasa bangganya akan kenyataan ini. Karena sudah menjadi keadaan lumrah, jika remaja laki-laki akan merasa bangga menjadi yang pertama bagi seorang remaja perempuan. Tak terkecuali dirinya.

Selain itu, ini adalah sebuah beban. Karena rusak atau tidaknya Rara, bergantung pada bagaimana ia memperlakukan cewek itu selama menyandang status tersebut. Status yang tanpa sengaja telah ia rusak. Meminta maaf pun sepertinya sedikit percuma, karena sudah telanjur dan tak akan disesalinya. Bilapun Rara yang menyesal, ia tak peduli.

"Kok nama Kakak nggak ada?" tanya Rara heran, saat membolak-balik kemeja di tangan.

"Bukannya nama gue udah ada di hati Rara, ya?"

Rara berdecak. "Mulai, kan? Gue serius, nanyanya."

Drian tertawa sebentar. "Emang nggak ada, dari awal pindah ke sana. Katanya, sekolah udah nggak sempet bikinin nama gue. Lagian bentar lagi kan gue lulus."

Rara mengangguk. "Berarti gue bisa makan dong, sekarang?" ujarnya, berseri-seri. "Eh, ini hasil jahitannya." Ia menyerahkan kemeja yang baru saja dieksekusinya.

"Rapi juga."

"Harus, dong!" balas Rara cengengesan.

Drian menatap Rara yang sibuk memasukkan makanan ke mulut. Entah mengapa, ia suka melihat cara makan cewek itu. Tak malu-malu, pun tak rakus. Seolah apa yang dimakan rasanya pasti lezat. Ia tak berkomentar, juga tak berniat mengalihkan perhatian.

"Itu punya Kakak masih banyak. Nggak mau dimakan lagi?" tanya Rara, saat mendapati cowok itu hanya melihat dirinya makan.

Drian menggeleng, meski sempat terlintas ide untuk meminta Rara menyuapinya. Meski makanannya belum habis, tetapi nafsu makannya sudah hilang. Cowok itu sedang fokus menatap Rara. Saksama juga terkesima, hingga cewek itu selesai makan.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now