8. Kamuflase

14.6K 894 4
                                    

Seperti biasa. Kamis pagi menjelang siang ini, Bia and friends masih berada di kelas, meski jam istirahat sudah berlangsung sedari tadi. Mereka asyik bercerita, seperti yang sudah-sudah. Memanfaatkan waktu istirahat pelajaran di tengah puasa sunah Senin-Kamis yang tengah mereka jalani.

"Gimana, hubungan gelap lo sama si Nudi Hendarso itu? Ada kendala, Bi?" tanya Rara pada Bia.

"Bukan hubungan gelap, Ra. Backstreet, Ra. Baaackstreet! Atau kalau nggak tahu apa itu backstreet, backstreet itu hubungan sembunyi-sembunyi!" ujar Ikha, meralat perkataan Rara yang selalu seenaknya. "Ngeselin lo, lama-lama!"

Sementara Rara, masih meragukan bagaimana hubungan Bia dengan Nudi itu. "Sebenernya lo itu pacaran apa main petak umpet sih, Bi? Kok ya sembunyi-sembunyian segala?" tanya Rara makin mengaco.

"Pacaran, Ra. Cuma, gue nyaman kayak gini. Lo kan tahu sendiri, anak-anak pada ember. Ada kabar dikit, langsung digembor-gemborin," jawab Bia. Lagi pula, meski yang mengetahui hubungannya dengan Nudi hanya para sahabatnya, namun orangtuanya pun mengetahui hal ini. Direstui, pula.

"Tapi rawan, Bi!" ujar Yuna mengingatkan.

"Rawan gimana?"

"Jelasin, Ra."

"Jadi, gini. Lo kan sama si Nudi Hendarso menjalin hubungan ... bua, bua, bua!"

Dua pasang mata menatap Rara, menyertakan kernyitan di dahi saat mendengar kalimat berantakan itu. Bahkan, Ikha yang kini sedang sibuk memotong-motong karet penghapus, harus ikut menatapnya.

"Belibet amat gue, ngomongnya!" gerutu Rara. Ia melanjutkan penjelasan bahwa hubungan yang dijalani oleh Bia dan Nudi ini memiliki risiko besar. Orang ketiga, misalnya. Mengingat tak ada satu pun penghuni sekolah ini yang mengetahui hubungan keduanya. Selain ketiga sahabat Bia, tentu saja.

"Iya, sih. Tapi gue harap itu nggak nimpa gue," sahut Bia.

"Menurut gue kemungkinannya kecil, itu nggak nimpa lo." Terlebih, Nudi tergolong siswa tenar. Meskipun tenarnya cowok itu hanya karena kontroversi, bukan prestasi atau hal lainnya.

"Resiko ditanggung penumpang lho, Bi!" tambah Ikha.

Bia menatap Ikha yang masih memotong karet penghapus. "Ikha! Penghapus gue masa tinggal segitu!? Katanya cuma motong yang kotor!?" semprotnya.

Ikha meringis. "Sori, Bi. Abisnya asik, sih."

"Asik, asik! Kebiasaan sih, lo!"

"Nggak usah marah-marah. Lagi puasa, juga. Ntar gue ganti sama yang baru, Bi."

Rara dan Yuna hanya saling pandang sambil tertawa kecil, saat melihat wajah kesal Bia yang begitu menggelikan. Sudah tahu sifat Bia seperti itu, masih saja dipancing!

"Cie, Fae yang suka sama Nudi!" ledek serombongan siswi yang baru saja masuk kelas. Ledekan-ledekan semacam itu ditanggapi dengan malu-malu oleh Fae, si empunya nama.

Sepertinya, di sini ada yang salah. Iya, ada yang salah. Nudi. Nama itu, nama siswa yang barusan menjadi perbincangan hangat di antara empat cewek yang mendadak diam itu. Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Rara belum lama ini, benar-benar terjadi.

"Udah punya nomer ponselnya Nudi belum nih, Fae?" tanya Wina jahil. Membuat keempat remaja yang sedari tadi duduk itu menajamkan kerja telinga.

"Udah, dong. Mau minta nomernya Nudi? Ya udah, bakal gue tulisin," jawab Fae percaya diri.

085647xxxxxx.

Garis InteraksiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora