23. Kiriman

10.4K 760 12
                                    


Nilai ulangan Kimia mengenai notasi unsur golongan VIII A, sudah ada di tangan para siswa kelas 11 IPA-1 SMA Taas.

Saat ini, Rara tengah terbahak. Merasa bangga ketika mendapat nilai tersebut. Bahkan mengundang cibiran, terutama siswa yang sering meremehkan kemampuannya. Meski begitu, ia tetap bangga dengan hasil yang didapat. 

"Yaelah, Bi. Harusnya lo bangga, sama hasil ulangan lo. Lo tenang aja. Kita kan dapet nilai sempurna!" ujarnya bangga, berusaha meredakan kepanikan Bia.

Bia, lain lagi. Cewek itu selalu menggerutu tak jelas mengenai hasil ulangannya. Ia heran apa yang merasuki Rara akhir-akhir ini. Lebih sering tertawa seperti terkena demam cinta. Ia tak mengerti. Rara tampak begitu santai. Memang kontras dengannya yang justru sangat meratapi nilai ulangan yang didapat.

"Tenang-tenang pala lo peyang, Ra! Lo tahu sendiri kan, nilai kita segini!?" ujar Bia kian kesal, sambil menunjukkan kertas ulangannya kepada cewek di hadapannya.

Rara mengangguk santai. Melihat hasil ulangannya yang sama persis dengan apa yang Bia dapatkan. "Terus apa masalahnya, Bi? Kita dapet nilai sepuluh, kaliii!" sahutnya bersemangat, membuat Bia mencibir.

"Iya, kita dapet nilai 10. Tapi yang lain pada dapet nilai 70, 80, sampai ada yang dapet nilai 90! Puas!? Dan lagi. Nilai yang kita dapet itu cuma upah nulis, karena soal yang kita kerjain itu salah semua!"

Rara semakin terbahak mendengar gerutuan Bia itu. "Lagian mau marah gimana juga, nilai kita tetep segini. Nggak akan berubah. Dibawa santai aja, Bi. Walau gimanapun, ini hasil kerja keras kita yang patut disyukuri!"

Bia memutar bola matanya. "Iya, nilai kita segini emang bisa disyukuri. Tapi gara-gara dapet nilai segini, kita jadi bahan bulan-bulanan, Ra." Apalagi, seisi kelas tak ada yang bernasib sama dengannya, maupun Rara.

"Kita itu sebenernya lebih beruntung dari yang dapet nilai 90, Bi."

"Buntung Ra, bukan beruntung!" elak Bia langsung.

"Dengerin gue dulu. Kenapa gue bilang kita lebih beruntung? Soalnya, kita dituntut buat belajar lebih giat. Coba aja hari ini kita dapet nilai yang subhanallah, bisa aja malah nyepelein ulangan selanjutnya."

Bia merasa ada benarnya juga apa yang dikatakan sahabatnya itu. Akan tetapi... jelas gengsi, dong!

Sementara Rara, menganggap bahwa kemanyunan Bia tersebut sama sekali tak berdasar. Karena sok tahunya dia, masih ada banyak yang tak seberuntung mereka yang tak bisa bersekolah. Sementara ia dan Bia, masih bisa merasakan bagaimana mendapat nilai yang pas-pasan, tertawa bersama para teman mereka. "Mending kita lagi, masih bisa ngerasain itu semua. Kalau lihat yang lebih dari kita, yang ada emang cuma rasa kurang."

"Omongan lo serem, Ra."

"Makanya nggak usah manyun gitu. Daripada meratapi nilai terlalu sempurna kita ini, mending ke kantin sambil mikirin gimana biar ntar dapet nilai memuaskan di ulangan pelajaran lain. Walaupun bersyukur nih, bukan berarti harus dapet nilai segini terus! Cukup kali ini aja deh, dapet nilai segini. Besok kan kita ulangan matematika. Mending kita fokus ke sana. Tapi sebelum itu, kita harus makan. Oke?"

Bia akhirnya mengangguk, meski bibirnya masih maju sekian senti. Ia rasa, dirinya memang tak seharusnya terlalu larut dalam memikirkan hal ini. Rara saja yang bernasib sama dengannya bisa begitu santai, mengapa ia tak demikian?

"Yuk, istirahat. Ntar jangan telat ya, masuknya," ajak Rara pada teman-teman sekelas. Entah mengapa, mereka yang biasanya sudah pergi ke kantin, kini masih betah berada di dalam kelas.

"Harusnya kan mereka yang bilang gitu, Ra." Rara nyengir, mendengar sahutan Bia ini.

Keduanya berjalan menyusuri kantin sekolah. Lalu melihat Yuna dan Ikha sudah duduk manis di salah satu sudut kantin. Menghambur ke arah keduanya yang sedang menikmati makanan. Segera menduduki kursi kosong di sekitar dua sahabat mereka.

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now