32. Kuliah Tujuh Menit

9.4K 714 12
                                    


"Haus, Ra?" bisik Yuna jail.

Rara mengangguk. "Bukan haus lagi. Banget! Kalau mau dibatalin, udah setengah hari, nih. Sayang."

"He-eh. Lagian ntar kalau udah cuci muka, bakalan seger lagi. Tahanin aja, ya? Bentar lagi juga istirahat. Terus pulang, deh. Kan dua jam terakhir kosong."

"Anak-anak." Bla, bla, bla. Guru yang ada di depan masih menjelaskan dengan serius, meski menyadari bahwa para muridnya mendengarkan dengan ogah-ogahan.

Ada yang mengangguk-angguk seolah benar-benar memperhatikan penjelasan, namun ternyata sedang mendengarkan musik melalui headset untuk menghilangkan rasa kantuk. Beruntung, pelaku dari ketidaksopanan ini ialah seorang cewek berambut panjang yang duduk di posisi pojok belakang kelas. Jadi, tidak akan ketahuan. Meski terlihat oleh Tuhan.

Surga yang dinantikan itu tiba. Suara bel yang memperdengarkan instrumen lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang menandakan bahwa jam istirahat kedua telah menyambut, begitu menyegarkan siapa saja yang mendengar. Daftar kegiatan yang sudah disusun oleh masing-masing siswa, akan dilaksanakan hingga jam istirahat berakhir.

"Nunggu yang lain pada keluar dulu," bisik Yuna kepada Rara yang sudah berdiri.

Tak ada hal lain yang akan Rara lakukan kecuali menurut pada teman semejanya itu, karena memang tak ada pilihan lain yang bisa ia ambil.

Abdi yang diketahui sudah keluar, kini melongok ke dalam kelas. "Ra, ada yang nyariin nih!" ujarnya setengah berteriak.

"Iya, bentar." Rara menyahut sambil bergegas menuju pintu. "Iya, Ul. Ada apa?" tanyanya pada adik kelasnya, Ulfi.

"Ini, Kak. Ulfi mau minta tolong sama Kakak."

"Minta tolong apa?"

"Minta tolong Kakak buat jadi pembicara kuliah dhuhur hari ini."

"Bukannya sekarang gilirannya kelas sepuluh, ya?"

"Iya. Tadinya udah ada yang mau maju buat kuliah dhuhur. Tapi hari ini dia nggak berangkat. Terus di kelas Ulfi nggak ada yang mau gantiin. Macem-macem alasannya. Malu, lah. Nggak pede, lah. Kakak mau bantu, kan? Soalnya Ulfi beberapa kali denger Kakak ngisi kuliah dhuhur di masjid, percaya diri banget. Kali iniii aja."

"Gimana, ya? Bukannya nggak mau bantuin. Tapi emang nggak punya persiapan. Terus ini bentar lagi udah waktunya salat dhuhur. Coba aja bilangnya tadi pagi. Atau kalo nggak pas istirahat pertama, deh. Ini mepet, soalnya. Nggak sempet bikin teksnya."

"Kalo Kakak mau, teksnya udah ada, kok. Tinggal dibaca doang."

"Kenapa bukan Ulfi aja sih, yang maju? Katanya tinggal baca doang? Kan sama aja?" tanya Yuna penasaran.

"Ulfi lagi haid, Kak. Lagi banyak-banyaknya, takut ...." jawab Ulfi lirih, berharap lawan bicaranya mengerti. "Kak Rara mau bantuin, kan?" lanjutnya bertanya.

Rara mengangguk. "Iya. Terus, teksnya mana?"

"Masih di kelas, Kak. Bentar, aku ambilin dulu. Kakak tunggu di depan masjid aja. Takutnya antrian wudhunya keburu panjang."

Rara mengangguk. Permintaan ini cukup masuk akal. Lalu segera menuju ke masjid yang berada di tengah sekolah.

"Kayak ada yang aneh, Ra. Masa dari satu kelas yang jumlahnya pasti lebih dari dua puluhan, nggak ada satu pun yang berani maju?" gumam Yuna heran.

"Kayak nggak pernah ngerasain jadi anak kelas sepuluh aja. Malu, paling. Tapi paling nggak, masih ada yang percaya sama gue."

"Iya, sih. Tapi gue ngerasa aneh aja."

Garis InteraksiWhere stories live. Discover now