20

782 31 0
                                    

"Loe kenapa, Lyn?"

Hana melenguh melihat sahabatnya. Evelyn tertegun dengan tangan yang sibuk menggenggam sendok. Gadis itu hanya mengaduk-aduk isi mangkuk sotonya. Seolah sedang mencari sesuatu semisal suwiran ayam. Tapi bukan itu. Suwiran ayam kentara mengambang di permukaan mangkuknya. Lalu kenapa ia tidak segera menyuapkan sendok itu ke dalam mulutnya?

"Lyn?"

Sekali lagi Hana mencoba menegur Evelyn dan menepuk punggung tangannya. Gadis itu perlu disadarkan dari lamunannya.

"Apa?" Evelyn tergagap. Ia seperti baru saja tersengat listrik. Tampangnya menggambarkan seraut wajah linglung.

"Loe kenapa?" Hana mengulangi pertanyaannya.

Evelyn menggeleng dengan gerakan lambat. Tangannya mulai tergerak untuk menyenduk soto dan menyuapkannya ke dalam mulut.
"Gue nggak pa pa."

"Kalau nggak pa pa, kenapa diem aja?" tanya Hana sewot. "di kelas tadi loe juga ngelamun."

Evelyn mendesah pelan. Kejadian memalukan di kelas tadi membayang kembali di pikirannya. Pasalnya ia ketahuan melamun di saat jam pelajaran berlangsung. Dan imbasnya ia mendapat lemparan spidol dari Pak Dharma.

"Karena drama itu?" Hana mencoba menebak sebelum mendapat jawaban pasti dari bibir sahabatnya. Festival kurang seminggu lagi. Evelyn pasti merasa sedikit tertekan dengan perannya dalam drama itu. Kasihan dia.

Evelyn tak mampu menjawab. Alasannya, karena ia tak tega berbohong pada Hana. Sampai detik inipun ia belum memberitahu sahabatnya itu jika Kak Leon sudah kembali. Dan pagi tadi ia sempat berdebat sengit dengannya. Bahkan Kak Leon tega menamparnya. Haruskah ia menceritakan semua hal itu pada Hana?

Pementasan drama itu kurang seminggu lagi. Beban di pundak Evelyn bertambah dengan masalah Kak Leon. Padahal peran Julietta itu saja sudah membuatnya kalang kabut. Dan sekarang soal Kak Leon yang berencana untuk kembali ke Singapura. Apa ia tidak bisa menunda keberangkatannya? Padahal Evelyn sangat ingin keluarganya melihat pementasan drama itu.

"Nggak gampang jadi Julietta, tahu nggak?" cetus Evelyn pada akhirnya. Ia menyuapkan sendok ke dalam mulutnya perlahan. Mencoba sebisa mungkin menjadi seperti biasa, tanpa masalah, adalah bukan hal yang mudah. Tapi, ia akan mencobanya di depan Hana.

"Gue tahu banget," sahut Hana. "terus kostumnya udah dapet?"

"Hm." Evelyn mengangguk. Kali ini ia ganti menyeruput es jeruk. "Angga yang ngatur semuanya," ungkapnya.

"Wih, nggak nyangka ya, Angga udah ngatur semuanya. Dia keren banget," puji Hana. Satu jempolnya terangkat ke atas. Baru kali ini ia mengungkapkan kekagumannya pada sang ketua kelas.

"Loe naksir Angga?" sentak Evelyn.

Hana menggeleng berulang.

"Nggak-lah." Gadis itu memasang wajah tersewotnya. Evelyn mulai menggodanya. Sebuah kebiasaan buruk yang paling Hana benci. "Angga tampangnya sangar gitu," keluh Hana sesaat kemudian.

"Eh, namanya cinta juga nggak memandang fisik, tahu?" seloroh Evelyn. Ia mencomot sebuah krupuk dari dalam plastik di depan Hana. Padahal jelas-jelas makanan itu milik sahabatnya.

"Loe kayak udah pernah jatuh cinta aja," serang Hana balik. Kali ini benar-benar menusuk jantung Evelyn. "siapa?"

"Apanya yang siapa?" Evelyn balik tanya. Otaknya tidak mampu mencerna pertanyaan Hana yang kurang jelas.

"Maksud gue, siapa yang loe suka? Nggak mungkin-lah loe belum pernah jatuh cinta. Iya nggak?"

Evelyn nyengir melihat kedipan mata Hana. Sahabatnya itu juga mencondongkan tubuhnya dengan maksud ingin lebih memojokkan Evelyn. Jika dipikir kembali, selama ini Evelyn selalu tertutup soal asmara. Gadis itu tidak pernah bilang sedang menyukai siapa. Padahal Hana-lah satu-satunya sahabat karib Evelyn.

"Nggak ada," sahut Evelyn sedikit ketus. Ia melahap kembali isi mangkuknya dan berpura-pura cuek.

"Gue nggak percaya," sahut Hana cepat dan tegas. Gadis itu mendelikkan matanya dan mengamati ekspresi wajah Evelyn. Bersikap cuek terkadang merupakan indikasi untuk menutupi sesuatu yang terjadi di dalam hati seseorang. Sebuah kamuflase untuk menyembunyikan perasaan. Seperti yang dilakukan Evelyn sekarang.

"Loe beneran suka sama seseorang?" desak Hana setelah menyeruput es tehnya. Ia telah berhasil mengosongkan isi mangkuknya. Perutnya penuh dan tinggal menunggu Evelyn menyelesaikan makannya. "nggak pa pa, Lyn. Cerita aja," suruh Hana menyambung percakapan.

"Apaan sih, Han." Evelyn malah menggumam saat Hana mencoba mendesaknya dengan pertanyaan.

"Loe suka sama Mika?"

"What?!" Evelyn kelepasan. Harusnya ia tidak sepanik itu saat Hana menyebut nama Mika. Toh, Mika bukanlah cowok yang disukainya. Kenapa mesti sepanik itu?

"Ya, kali aja loe suka terus gengsi sama gue," kekeh Hana.

Evelyn hanya menyambutnya dengan sebuah cibiran sebal.

"Abis siapa dong, Lyn?" desak Hana belum menyerah. "Pedro? Daniel? Angga? Alan? Yudhis?"

Sebuah timpukan kecil di pundak Hana berhasil membungkam mulut gadis itu. Evelyn tampak bersungut-sungut didesak terus-terusan oleh sahabatnya. Bisa-bisa ia terdesak dan mengakui tentang perasaan spesialnya untuk seseorang bernama Raffa. Evelyn tidak mau Hana tahu.

"Loe mau ngabsen cowok-cowok di sekolah ini?" sungut Evelyn sembari melotot tajam pada Hana yang terkikik pelan. Tampaknya ia sangat puas sudah membuat Evelyn kesal. Sebuah balas dendam yang manis.

"Atau Raffa?"

Deg.

Jantung Evelyn serasa berhenti berdetak kala Hana menyebut nama Raffa. Bagaimana ia bisa menebak setepat itu?

Evelyn menoleh seketika ke arah Hana untuk memastikan jika gadis itu hanya asal tebak saja. Tapi, Hana sedang sibuk menatap ke arah pintu masuk kantin dan tidak memperhatikan betapa merahnya pipi Evelyn sekarang.

Sosok Raffa sedang berdiri di sana, di dekat pintu kantin. Memberi jalan bagi pengunjung kantin yang sudah selesai makan dan ingin keluar dari tempat itu.

"Loe udah belum makannya, Lyn?"

Evelyn tergagap dan buru-buru mengalihkan matanya kembali ke arah mangkuk saat Hana tiba-tiba menoleh ke arahnya. Dia pasti hanya kepikiran menyebut nama Raffa karena cowok itu mendadak muncul di pintu kantin saat Hana membuang pandangan ke sana. Bukan sebuah tebakan serius.

"Bentar lagi," sahut Evelyn.

"Cepetan dong, Lyn. Bentar lagi udah bel, nih."

"Iya, iya. Bawel amat jadi orang."

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang