31

705 25 0
                                    

"Dari mana aja, jam segini baru pulang?"

Hardikan itu seketika membekukan kedua kaki Evelyn. Tak ada yang salah dengan omelan itu. Tapi, tak seharusnya si pemilik suara itu ada di sini, di rumah ini. Tadi Evelyn terlalu fokus pada langkah dan bawaan di tangannya. Namun, hardikan itu berhasil membuatnya mengangkat dagu dan memaksanya menatap lurus ke depan. Di mana si pemilik suara sedang menatapnya dengan bola mata yang melebar. Menunggu kedatangan Evelyn dengan tak sabar. Sebuah kejutan yang benar-benar mengguncang dada gadis itu.

"Kak Leon?" Bibir Evelyn bergumam tanpa sadar. Ia melihat sosok kakaknya sedang berdiri di ruang tamu, menatapnya tajam, tanpa senyum, dan tak seharusnya ia berada di sini bukan?

"Kamu belum menjawab pertanyaan Kakak."

Evelyn tersenyum pahit. Di saat ia terkejut setengah mati melihat penampakan kakaknya, laki-laki itu malah protes karena Evelyn belum menjawab pertanyaannya.
"Kenapa Kak Leon ada di sini?" Evelyn tak menggubris protesan Kak Leon. Ia lebih penasaran ingin tahu kenapa Kak Leon bisa ada di sini. Padahal tiga hari yang lalu ia berangkat ke Singapura dan seharusnya ia kembali dua tahun lagi sesuai janjinya. Tapi, kenyataannya sosok itu berdiri di hadapannya meski Evelyn tidak begitu mempercayai penglihatannya sendiri.

"Kakak sudah berubah pikiran," tandas Kak Leon datar. Ia menghela napas berat. "sepanjang penerbangan ke Singapura, Kakak banyak berpikir. Kak Leon baru sadar jika kamu lebih penting dalam hidup Kakak. Itulah kenapa Kakak memutuskan untuk kembali," paparnya secara garis besar.

"Oh." Evelyn tak menyambut pemaparan kakaknya dengan antusiasme tinggi.

"Maafin Kak Leon," ucap Kak Leon sejurus kemudian. Ia mendekat ke arah Evelyn dan langsung memeluk tubuh adiknya.

Evelyn terdiam dalam dekapan tubuh Kak Leon. Aroma tubuh kakaknya langsung menguar ke sekeliling hidungnya, semacam citrus. Sepertinya ia telah menemukan sebuah kehangatan yang selama ini sempat hilang dan terlalu dirindukannya.

"Berjanjilah Kakak nggak akan ke mana-mana lagi," bisik Evelyn di dada kakaknya.

"Iya, Kak Leon janji," sambut Kak Leon sembari tersenyum. Laki-laki itu melepaskan tubuh Evelyn dan menatap wajah adiknya lekat-lekat. Wajah sepi itu masih terlukis di sana dan tugasnya-lah untuk menggantikannya dengan keceriaan yang dulu sempat tinggal lama di sana. Berada di ketinggian udara membuatnya banyak berpikir tentang Evelyn. Adik yang selalu dicintai dan dirindukannya. "ganti baju kamu dan kita makan malam. Oma sepertinya masak sesuatu yang enak," suruh Kak Leon.

Evelyn mengangguk dan melaksanakan perintah kakaknya dengan senang hati. Kepulangan dan janjinya untuk tidak pergi lagi sungguh membuat hatinya lega. Rasa sakit dan kecewa yang sempat bersarang di hatinya menguap begitu saja. Seolah terbang bersama angin lalu menghilang menjadi serpihan atom yang tidak tampak oleh mata telanjang.

Makan malam kali ini lebih terasa hidup ketimbang sebelumnya. Evelyn lebih antusias untuk bicara dan tersenyum. Suapannya juga lebih bersemangat.

"Kakak akan mencari pekerjaan secepatnya," ucap Kak Leon meski mulutnya penuh dengan nasi. Sepertinya ia sudah tidak sabar mengeluarkan isi pikiran dan rencana-rencananya ke depan. Mencari pekerjaan tetap, menabung untuk pendidikan Evelyn, lalu mencari pendamping hidup. Semua sudah tertulis rapi di sana. Tinggal merealisasikannya di dunia nyata.

"Pekerjaan seperti apa yang kamu inginkan?" sela Oma. Wanita tua itu tak bisa menyembunyikan ketidaksabarannya.

"Apa aja, Oma," sahut Kak Leon cepat. "yang penting gajinya lumayan."

"Kenapa nggak buka usaha sendiri? Buka cafe misalnya," usul Evelyn tak mau kalah.

"Ya, Kakak juga ingin bisa membuka usaha sendiri. Tapi, modal Kakak belum cukup. Kakak kan harus membiayai sekolah kamu, uang jajan, biaya shopping... Lagian kamu boros banget, gimana Kakak bisa nabung?"

Evelyn nyengir mendengar kalimat sindiran kakaknya. Setidaknya ia tidak menyangkal jika selama ini telah menghabiskan banyak uang pemberian Kak Leon. Demi pergi ke mal melepaskan penat pikiran dan kesepian yang selama ini kerap menderanya.

"Namanya juga cewek, Kak," gumam Evelyn seraya tersenyum.

Kak Leon ikut tersenyum. Ia senang bisa melihat senyum terkembang di bibir adiknya. Sepertinya ia sudah terlalu lama tidak melihat senyum terlukis di bibir Evelyn.

"Nggak pa pa. Kakak kerja juga demi kamu," ucap Kak Leon kemudian. Ia melanjutkan kembali makannya yang sempat terhenti sesaat karena harus bercakap dengan Evelyn.

"Oma senang kalian bisa berkumpul lagi seperti ini," tandas Oma.

"Yeah, sayangnya Kak Abby belum bisa pulang," imbuh Kak Leon.

"Lyn sebel kalau Kak Abby pulang," celutuk Evelyn menimpali percakapan.

"Kenapa? Harusnya kamu seneng kan, Kak Abby yang keren pulang. Itung-itung bodyguard gratis," sahut Kak Leon. Dahinya cenderung berkerut saat mendengar kalimat Evelyn.

"Habisnya dia suka nyuruh Lyn lari pagi, sih. Lyn kan nggak suka olahraga, Kak. Kak Abby sih, nggak tahu gimana rasanya perut ditusuk-tusuk seribu jarum," papar Evelyn dengan memasang wajah cemberut. Spontan saja tawa Oma dan Kak Leon langsung pecah. Terlebih lagi gaya bicara dan ekspresi yang ditunjukkan Evelyn sangat lucu. Inilah sifat kekanakan Evelyn yang sudah lama tak pernah muncul.

"Hei, Kak Abby ada benarnya menyuruh kamu olahraga. Supaya fisik dan stamina kamu terjaga. Nggak gampang sakit," timpal Kak Leon seolah sedang berpihak pada Kak Abby.

Evelyn tidak menanggapi ucapan kakaknya dan mengalihkan diri ke dapur dengan dalih ingin mengambil puding cokelat yang tersimpan di kulkas. Oleh-oleh berbelanja ke mal siang tadi.

Sunshine In Your Heart# CompleteWhere stories live. Discover now