26

702 32 0
                                    

"Besok Kak Leon akan berangkat."

Evelyn tercengang selama beberapa detik mendengar pengakuan Kak Leon. Kalimat Kak Leon sama seperti belati yang menusuk dadanya. Menyakitkan.

Gadis itu melanjutkan detak sepatunya seolah tak mendengar apapun yang diucapkan Kak Leon. Berimajinasi jika sesuatu benda telah menutup lubang telinganya. Menganggap kalimat Kak Leon seperti angin yang berhembus. Toh, sebentar lagi angin itu akan pergi setelah datang menyapa. Seperti sebuah siklus kehidupan. Sesuatu akan datang dan kemudian pergi. Begitu seterusnya. Berputar tanpa henti seperti roda.

Kak Leon mendesah. Meluapkan keresahan yang menyesak di dalam dadanya. Laki-laki itu melirik buket bunga krisan yang menggantung di tangan Evelyn. Menjuntai dan nyaris lepas dari genggamannya. Gadis itu masih menghargai kakaknya. Itulah kesimpulan pertama yang bisa ia tarik saat melihat benda itu. Setidaknya Evelyn masih membawa hadiahnya pulang dan bukan membuangnya sesaat setelah Leon memberikan buket bunga krisan itu tadi siang di sekolah.

Kak Leon berhasil menyusul langkah Evelyn dan menahan daun pintu kamar sebelum tangan gadis itu sempat membantingnya dengan paksa. Ia merasa harus menjelaskan sesuatu untuk menenangkan hati adiknya. Sebuah penjelasan sederhana untuk membuatnya mengerti. Kalaupun ia mengerti, ia mungkin akan bersikap seolah-olah tak pernah mengerti.

"Jane!"

Teriakan itu berbarengan dengan buket bunga krisan yang melayang terbang bebas ke dalam keranjang tempat sampah. Jika ia hanya akan membuangnya, kenapa mesti dibawa pulang segala?

Evelyn tak peduli dengan teriakan kakaknya. Ia berusaha melepaskan jaket yang kini membungkus tubuh lelahnya. Dari pagi sampai sore ia disibukkan dengan acara festival sekolah dan melayani permintaan teman-teman yang ingin berfoto dengannya. Sungguh melelahkan.

"Lyn udah denger. Nggak usah teriak napa?" sungut Evelyn sembari menjatuhkan jaket lalu tubuhnya ke atas tempat tidur.

Kak Leon menarik napas dalam-dalam. Bukan hal yang mudah untuk bicara dengan Evelyn dengan situasi seperti ini. Gadis itu paling tidak suka dengan pembahasan yang akan dibicarakan Kak Leon.

"Kakak akan berangkat besok," ucap Kak Leon sekali lagi. Mengulangi kalimatnya. Seolah Evelyn belum sempat mendengarnya tadi.

"Ya."

Sebenarnya Kak Leon sedikit kecewa dengan jawaban singkat adiknya. Ia hanya ingin Evelyn melepas kepergiannya dengan senyum, bukan wajah masam seperti yang ia tunjukkan sekarang.

Kak Leon menghampiri Evelyn dan mengambil tempat duduk di sebelahnya.

"Kakak hanya pergi selama dua tahun dan setelah itu Kakak nggak akan ke mana-mana," tandas Kak Leon melemahkan suaranya. Ia menautkan jari-jemarinya di atas pangkuan dan membuang tatapan ke arah meja belajar Evelyn yang penuh dengan buku-buku pelajaran yang sama sekali tidak tertata rapi. Semuanya serba tumpang tindih.

Evelyn hanya mengulum senyum pahit. Apa arti dua tahun baginya? Sebelum ini ia juga pernah kehilangan Kak Leon selama itu. Akan sama saja, bukan?

"Ini semua Kak Leon lakukan demi kamu dan Oma," ucap Kak Leon mencoba memberi penjelasan. Sepasang mata Kak Leon beralih menatap Evelyn yang membisu di samping tubuhnya. "Kak Leon ingin kelak kamu bisa kuliah dan bisa mewujudkan cita-citamu," imbuhnya. Tangan kanannya mulai merayap di kepala Evelyn. Sudah lama ia tidak membelai kepala adiknya.

Tapi, Evelyn buru-buru menepis tangan kakaknya dengan paksa.

"Kak Leon pergi atau nggak, itu terserah Kak Leon. Nggak ada yang ngelarang kok," ucap Evelyn dengan nada kasar.

"Kakak tahu kamu kecewa... "

"Kecewa?" Evelyn menyunggingkan sebuah senyum pahit. "untuk apa kecewa? Lyn dan Oma baik-baik aja selama Kakak nggak ada. Kenapa mesti kecewa," sungut Evelyn kesal.

Kak Leon tak menyahut. Tapi, sorot matanya tak lepas mengawasi manik mata Evelyn yang berputar gelisah. Sungguh, ia adalah gadis yang tegar. Bahkan sepasang matanya tak berkabut. Tak ada air mata yang tampak mendesak ingin keluar dari sepasang mata yang masih terbingkai indah dengan peralatan make up.

"Kak Leon tahu kamu nggak rela Kakak pergi," pancing Kak Leon. Tapi, Evelyn malah menyambutnya dengan ledakan tawa yang tampak dibuat-buat.

"Kak Leon jangan ngawur, deh," cetus Evelyn dengan melancarkan tatapan sinis. "kalau Kak Leon mau pergi, silakan. Siapa yang peduli?" Gadis itu melipat kedua lengannya di depan dada. Berlagak tak peduli. Tapi, justru Kak Leon mengartikan sebaliknya.

"Ada seorang gadis yang tinggal di sebelah apartemen Kakak," ucap Kak Leon dua menit kemudian. Sangat sulit mencari topik pembicaraan di momen seperti ini. Tapi, kalimatnya berhasil memancing perhatian Evelyn. Gadis itu seketika menoleh dengan wajah penuh tanda tanya. "dia seumuran kamu," imbuhnya kemudian.

Dahi Evelyn berkerut semakin dalam. Bibirnya setengah terbuka tak sabar ingin mengajukan sederet pertanyaan yang mendadak memenuhi kepalanya.

"Dia lumpuh." Kak Leon menambahi keterangannya lagi dan kali ini langsung membungkam bibir Evelyn. Gadis itu mengurungkan pertanyaan yang tadi sempat ingin dilontarkannya, demi mendengar penuturan kakaknya. Ia terdiam dan menunggu kalimat Kak Leon selanjutnya. "gadis itu sakit. Tapi, dia nggak pernah sekalipun mengeluh dengan keadaannya. Dia selalu tersenyum dan memasang wajah ceria. Gadis itu mengingatkan Kak Leon denganmu," ujar Kak Leon menambahi pemaparannya.

Evelyn mulai bisa memahami pemaparan Kak Leon.

"Apa Kak Leon ingin kembali ke sana karena gadis itu?" Evelyn melontarkan pertanyaannya dengan sangat hati-hati.

Kak Leon tersenyum tipis. Ia bisa melihat secercah kekhawatiran terpancar dari sorot mata Evelyn. Kecemburuan seorang adik.

"Dia sudah meninggal."

"Oh." Evelyn cukup terkejut mendengar kalimat Kak Leon yang terakhir. Ia sempat berpikiran negatif sedetik yang lalu. Tapi, pikiran itu seketika terbang saat Kak Leon memberitahunya jika gadis yang tinggal di sebelah apartemennya sudah meninggal.

"Kak Leon sudah menganggapnya seperti adik sendiri," ucap Kak Leon setelah memberi jeda bagi dirinya sendiri. "seperti kamu."

Evelyn tak ingin memberi komentar apapun kali ini. Jadi, karena siapa Kak Leon tetap bersikukuh ingin pergi? Benarkah karena pekerjaan? Atau seseorang yang lain? Memang Kak Leon tidak pernah bercerita tentang kedekatannya dengan gadis manapun, tapi bukan berarti ia tidak memiliki seorang kekasih atau seseorang yang spesial kan?

"Lyn capek," keluh Evelyn sesaat kemudian. Bermaksud mengusir Kak Leon dengan kalimat halus.

Kak Leon menarik napas panjang lalu berdiri. Ia bukan tipe orang yang tidak peka, terlebih pada adiknya sendiri.

"Kak Leon tunggu saat makan malam," ucap Kak Leon seraya mengedipkan sebelah matanya sebelum meninggalkan kamar Evelyn.

"Bodoh."

Evelyn menggumam pelan. Entah Kak Leon sempat mendengarnya atau tidak. Ia tak peduli. Gadis itu merebahkan tubuh dan jatuh terlelap beberapa menit kemudian.

Sunshine In Your Heart# CompleteDonde viven las historias. Descúbrelo ahora