32

711 26 0
                                    

Melihat sosok Kak Leon berdiri di depan pintu gerbang sekolah siang ini tak begitu mengejutkan Evelyn. Pun motor yang juga ada di sebelahnya. Bahkan Raffa sekalipun. Cowok itu tampak asyik berbincang dengan kakaknya. Sesekali berbagi senyum dan tawa. Iya, Raffa tertawa. Lepas dan tanpa beban. Seperti manusia normal lainnya. Memangnya selama ini ia tidak normal?

Evelyn menghentikan gerakan sepatunya beberapa saat setelah memisahkan diri dari Hana. Ia selalu dijemput Edo dan dan hanya sesekali pulang naik angkot. Bimbang mendadak memberati langkah kaki Evelyn. Apa ia tega muncul di tengah-tengah mereka dan membuyarkan senyum di bibir Raffa lalu mengundurkan dirinya?

Tapi, Kak Leon keburu melambaikan tangan begitu ekor matanya menangkap sosok Evelyn. Memaksa gadis itu agar segera melanjutkan langkah kembali.

"Kalau gitu, aku balik duluan, Kak." Raffa mengucapkan pamit begitu Evelyn tiba di hadapan mereka.

Evelyn sudah menduga hal semacam ini akan terjadi. Basa basi, sopan santun, atau apalah namanya. Hal yang sangat wajar untuk dilakukan. Orang lain juga akan melakukan hal yang sama.

"Langsung pulang atau mampir dulu?" tawar Kak Leon seraya mengangsurkan helm ke tangan Evelyn.

"Emang mau ke mana?" Evelyn balik tanya. Ia segera mengenakan helm yang diberikan kakaknya. "yang punya motor nggak nyariin?"

"Oh, ya. Kakak lupa ngasih tahu," ujar Kak Leon. "Kakak udah beli motor ini sama temen Kakak. Gimana? Bagus nggak?"

Evelyn menyipitkan kedua matanya. Sesaat menatap Kak Leon, motor lalu Kak Leon lagi.

"Yang bener?"

"Kamu seneng kan?"

Evelyn berdecak gembira.

"Jadi, Kak Leon mau ngantar jemput Lyn sekolah?" tanya gadis itu manja.

"Tentu," sahut Kak Leon cepat. "kalau Kak Leon nggak sibuk," imbuhnya seraya menepuk kedua pipi adiknya gemas. Karena ekspresi gadis itu berubah seketika. Ditekuk karena setengah kecewa.

Evelyn tak menyahut. Tanpa dijelaskan pun ia sudah paham. Kak Leon harus mencari pekerjaan dalam waktu dekat ini dan sudah pasti akan banyak menyita waktunya. Ia harus bersiap menjadi orang tersibuk bahkan sampai ia mendapat pekerjaan. Dan Evelyn tak bisa terus menerus minta dijemput nantinya. Tapi, setidaknya ia tidak kehilangan Kak Leon seperti beberapa tahun lalu. Ia akan kembali ke rumah setelah menyelesaikan aktifitasnya di luar seharian. Dan sangat menyenangkan mengetahui bahwa mereka tinggal di bawah atap yang sama.

"Makan yuk, Lyn. Kakak laper banget, nih," seru Kak Leon setengah menoleh ke belakang saat mereka sudah duduk di atas motor yang melaju dengan kecepatan sedang di atas jalan raya. Ia harus tetap bisa menatap ke depan dan membagi suaranya ke belakang.

"Boleh. Mau makan apa?" balas Evelyn senang. Sudah lama ia tidak makan di luar bersama Kak Leon.

"Terserah kamu!"

"Pizza Hut!"

"Ok! Siap!"

Kak Leon tampak puas melihat Evelyn menyantap cheeseburger pizza di hadapannya dengan teramat lahap. Pizza spesial yang berisi daging sapi cincang, daging sapi dan daging ayam asli yang berbumbu, keju cheddar, keju mozzarella, bawang bombay, tomat, saus tomat, mustard, mayonnaise. Sementara minumnya Kak Leon memilih dua gelas honey lime tea.

"Lahap banget," seloroh Kak Leon. Laki-laki itu menggigit potongan keju bagiannya seraya menatap gadis itu. "udah berapa lama nggak makan pizza?"

Evelyn menggeleng.

"Nggak juga," sahutnya. "cuma kalau dibeliin sama Kak Leon rasanya beda," imbuhnya seraya tergelak.

"Kamu ini bisa aja merayu Kakak," timpal Kak Leon ikut tertawa. "bilang aja kalau mau ditraktir terus. Kakak harus berhemat sampai dapat pekerjaan, tahu nggak?"

Evelyn nyengir.

"Eh, Kak. Emang kakaknya Raffa kerja apa sekarang? Dia balik ke Singapura?" cerocos Evelyn mengubah topik pembicaraan.

"Dia buka usaha sendiri."

"Apa?"

"Konter hp."

"Kenapa Kakak nggak coba ikut buka konter hp?"

Kak Leon menggeleng. Tangan kanannya terulur ke bibir Evelyn. Ada sesuatu di sana. Sejumput kecil lelehan keju menempel di ujung bibir gadis itu.

"Kakak pinginnya buka usaha kuliner. Biar bisa makan enak terus tiap hari," ujar Kak Leon kemudian.

"Oh. Asyik juga kayaknya. Lyn mendukung rencana Kak Leon," ucap Evelyn seraya mengacungkan jempol kanannya tinggi-tinggi.

"Iya, tapi masih lama. Ngumpulin duit dulu," cetus Kak Leon.

Evelyn hanya tersenyum tipis. Jika ia menyahut pasti Kak Leon akan menyinggung soal betapa borosnya gaya hidup Evelyn. Jadi, mendingan diam dan melanjutkan melahap sisa potongan pizzanya.

"Kamu nggak sekelas dengan Raffa?"

Evelyn meneguk minumannya perlahan untuk mengurangi rasa terkejut akibat bibir Kak Leon menyebut nama Raffa.

"Nggak." Gadis itu menyahut dengan suara lirih.

"Kamu udah punya pacar?" tanya Kak Leon kemudian. Dengan gaya santai. Tapi, siapa sangka pertanyaannya berhasil membuat Evelyn kelabakan. Tadi bertanya soal Raffa, sekarang pacar. Nanti apa lagi?

Evelyn menggeleng pelan.

"Kak Abby bakal menembak Lyn di tempat kalau ketahuan pacaran," ucap gadis itu dengan tampang serius.

Kak Leon terkekeh mendengar kalimat Evelyn.

"Masa sih, Kak Abby sekejam itu?"

Evelyn mengerucutkan bibir.

"Nggak usah bilang pun, udah kebaca dari matanya," celutuk Evelyn kemudian.

"Jadi, karena itu kamu nggak punya pacar?" desak Kak Leon kembali. "emangnya nggak ada cowok yang nembak kamu? Atau cowok yang kamu sukai, gitu?"

Evelyn menghembuskan napas kuat-kuat. Kenapa ia merasa Kak Leon sengaja ingin memojokkannya dengan pertanyaan-pertanyaan sensitif semacam itu?

Tapi, Evelyn menjawab hanya dengan gelengan kepala. Tentang Raffa, biarkan hanya dia dan Tuhan yang tahu. Selebihnya biar menjadi rahasia terdalam hatinya.

"Oma dibeliin apa nih?" tanya Kak Leon tiba-tiba. Tampaknya ia tidak terlalu serius dengan pertanyaannya. Karena ia mengubah topik percakapan dengan begitu cepat dan gampang. Bola matanya juga lebih sering berputar ke sana kemari menatap situasi restoran yang lumayan ramai pada jam makan siang seperti sekarang.

"Oma tuh nggak suka yang namanya pizza," tukas Evelyn cepat. Ia berhasil menandaskan potongan pizza terakhir miliknya dan alhasil ia kekenyangan.

"Terus?"

"Beliin aja kue brownies atau lapis legit. Pokoknya selera orang zaman dulu."

Kak Leon tersenyum. Dua hari terakhir, Evelyn lebih banyak bicara ketimbang beberapa waktu yang lalu. Senyum dan sifat kekanak-kanakannya juga kerap terlihat. Dan itu membuat Kak Leon bahagia.

"Balik, yuk. Kasihan Oma ntar nyariin kita," ajak Kak Leon seraya bangkit dari kursinya. Diikuti oleh Evelyn.

Sunshine In Your Heart# CompleteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang