Sadewa (Chapter 15)

1.7K 110 0
                                    

* Dewa pov *

Saat usiaku masih sepuluh tahun, aku memutuskan untuk pergi dari panti asuhan yang telah membesarkanku sejak aku dilahirkan. Meski ibu panti asuhan dan teman-teman yang lain begitu baik padaku, tetap saja aku ingin pergi. Aku pergi dari tempat itu karena aku tidak tahan dengan banyaknya peraturan yang ada di sana. Aku ingin bebas seperti burung yang bisa terbang ke manapun, dan hinggap ke sana ke mari sesuka hatinya.

Untuk mendapatkan uang jajan, aku mengamen bersama dengan beberapa teman sebayaku. Setiap hari, kami mengamen bersama-sama sembari membawa ukulele. Rasanya menyenangkan sekali bisa seperti ini, bernyanyi dan bermain di bawah terik matahari, dapat uang pula.

Tapi, dari sekian banyak teman yang mengamen bersamaku, aku paling dekat dengan Aryo. Itu karena kami adalah teman sekelas. Setiap hari, kami selalu bersama-sama. Bahkan mandi pun juga bersama-sama.

Ketika aku meninggalkan panti asuhan dan pergi untuk mencari tempat tinggal baru, aku mendapatkan rumah yang sederhana, namun begitu nyaman dipandang. Rumah itu sama sekali tidak ada penghuninya. Bahkan, salah satu tetangga yang memegang kunci rumah itu dengan sukarela memberikan kuncinya padaku, dan menyuruhku untuk tinggal di sana. Aku bersyukur sekali.

Namun, suatu hari, aku, Aryo, dan teman-teman sesama pengamen bermain-main di sungai besar di pusat kota Jakarta. Ya, ini adalah kegiatan rutin kami setelah cukup lama berada di bawah sinar matahari yang seringkali menyengat di kulit.

Seperti anak-anak pada umumnya, jika sudah berada di sana, kami akan mengadakan lomba berenang. Siapa yang mencapai dasar terlebih dahulu, maka dialah pemenangnya.

Namun, ketika aku hendak berenang, kakiku tergelincir, dan dahiku menghantam batu hingga mengalirkan banyak darah di sekitar sungai. Di tengah-tengah kesadaranku yang menipis, aku mendengar teman-temanku berteriak dengan sangat panik, terutama Aryo.

"Wa! Dewa!" ia dan teman-teman yang lain terus memanggilku. Namun, aku tidak bisa bangun. Aku merasa bahwa kepalaku terasa semakin sakit, hingga akhirnya aku benar-benar tak sadarkan diri.

*****

Aku melihat ada anak perempuan sebayaku berteriak-teriak kesakitan. Aku tidak tahu dia kenapa. Tapi, ia terus berteriak di atas ranjang rumah sakit. Sedangkan dokter terlihat menyuntikkan sesuatu di tubuh gadis kecil itu. Beberapa saat kemudian, teriakannya pun berhenti. Beberapa petugas menutup tubuh gadis kecil itu, sedangkan kedua orang dewasa yang kemungkinan adalah orang tuanya menangis di samping gadis kecil itu.

Oh, tidak! Kenapa aku harus melihat ini? Bukankah tadi aku sedang bermain air di sungai? Lantas, kenapa aku ada di sini? Aku tidak suka ada di sini!

Beberapa saat kemudian, mataku pun terbuka. Oh, rupanya itu semua hanya mimpi. Napasku tersengal-sengal. Aku melihat, di sekitarku ada banyak sekali orang. Mulai dari teman-temanku, sampai wali kelasku yang bernama Bu Mira. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku juga melihat banyak orang-orang yang sama sekali tak kukenal. Orang-orang yang tak kukenal itu terlihat begitu menakutkan hingga membuatku nyaris berteriak.

"Dewa, kamu nggak apa-apa?" tanya beliau. Tetapi, aku tidak bisa mendengar pertanyaan beliau. Aku justru fokus memerhatikan semua sisi di ruangan ini. Aku ingat, bukankah ini adalah ruangan gadis kecil itu? Bahkan, tata letaknya sama persis dengan yang tadi kulihat.

Ketika aku memerhatikan seluruh ruangan itu, aku melihat gadis kecil yang ada di mimpiku itu tengah memandangiku. Aku semakin takut ketika gadis itu berjalan mendekatiku.

"NGGAK! JANGAN GANGGU AKU!" aku berteriak seperti itu berkali-kali. Bahkan, aku tidak sadar jika orang-orang di sana memandangiku.

"Dewa, kamu kenapa?!" seru Bu Mira. Tetapi, aku masih tidak bisa menenangkan diri. Kenapa mereka harus menakut-nakutiku?

Aku berlari dari ruangan itu tanpa memedulikan semua orang yang tengah memanggil-manggil namaku. Aku berharap, aku tak melihat hal-hal seperti itu lagi.

Tetapi, apa yang kulihat? Di luar sana justru semakin banyak makhluk yang berkeliaran. Di sepanjang jalan, aku selalu memejamkan mata sembari menutup telinga agar tak bisa melihat dan mendengar keberadaan mereka.

Ketika sampai di rumah, aku cukup bisa bernapas lega. Sebab, aku tak melihat sesuatu yang aneh di rumah ini. Aku pun berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

Tetapi, aku justru memecahkan gelas karena aku melihat sosok wanita yang begitu menakutkan. Wajahnya pucat, dan terlihat berantakan. Aku sangat takut, aku terus berjalan mundur hingga menyentuh dinding. Entah kenapa, aku jadi tidak bisa berteriak, seolah-olah suaraku tertahan sesuatu.

"Jangan takut, aku tidak berniat menakutimu," ucap wanita itu. Jika diperhatikan lagi, mungkin usianya sekitar delapan belas tahun. Yang jelas, ia lebih dewasa dariku.

"Namaku Belle, kau jangan takut," ucapnya lagi.

"Nggak! Pergi!" usirku. Namun, ia tidak mau pergi.

"Kalau kau takut ketika melihatku, bagaimana kau akan menghadapi yang lebih menyeramkan dariku? Ayolah, aku tidak akan menggigitmu, apalagi membunuhmu," sahutnya. Kata-kata yang ia ucapkan ada benarnya. Tapi, aku tidak mau seperti ini. Aku ingin hidupku kembali normal, seperti dulu ...

*****

Esok harinya, aku tiba di sekolah dengan perasaan yang semakin kacau. Bagaimana tidak? Aku melihat banyak sekali makhluk-makhluk berkeliaran di sekitarku. Aku terus memejamkan mata dan menutup telinga. Bahkan, aku berteriak di kelasku sendiri.

"JANGAN GANGGU AKU!"

Semua murid-murid memandangiku dengan tatapan tajam seolah-olah aku telah mengganggu mereka. Anehnya, tidak ada seorangpun yang berbicara. Tetapi, kenapa aku mendengar banyak sekali orang yang membicarakan hal buruk tentangku?

Di bangku paling depan, murid-murid perempuan berbisik-bisik dengan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa aku sudah gila! Itu benar. Bagi mereka, aku sudah menjadi orang gila. Mereka tidak mau lagi berteman denganku, begitu juga aku yang tidak mau berteman dengan mereka. Aku tidak butuh teman yang seperti itu. Sekarang, aku jadi tahu mana teman yang tulus, dan mana teman yang busuk.

Aku melihat Aryo memasuki kelas. Tadinya, aku tersenyum melihat kedatangannya. Namun, aku mendengar suara Aryo yang mengatakan hal buruk tentangku tanpa menggerakkan mulutnya. Oh, inikah yang disebut suara hati manusia? Membaca pikiran seseorang?

Aku jadi bersyukur, aku semakin tahu hati manusia yang sesungguhnya. Bahkan, Aryo yang sudah kuanggap sebagai sahabat sejati juga menganggapku gila dan tidak mau berteman denganku lagi. Oh, siapa lagi orang yang menganggapku seperti itu? Mereka semua sok suci, sedangkan aku bagi mereka hanyalah kotoran yang mengganggu pemandangan. Ya, itulah yang mereka pikirkan tentangku ...

***** TBC *****

Kisah SadewaWhere stories live. Discover now