Sadewa (Chapter 40)

1.2K 103 0
                                    

Mata para murid-murid sekelas Dewa menatapnya dengan tajam seolah-olah ia adalah pembawa sial. Sedangkan Benny dan Amor begitu mengkhawatirkan laki-laki itu. Terutama Amor, ia takut jika laki-laki yang ia cintai itu merasa jatuh.

Dewa mendengar suara tangisan seorang anak-anak dari kejauhan. Tampaknya, suara itu berasal dari dalam rumah-rumah yang terbakar itu. Dewa juga melihat seorang ibu yang tengah menangis dan meminta untuk masuk ke sana. Namun, orang-orang mencegah ibu itu masuk ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Dewa pun langsung masuk ke dalam rumah itu tanpa memedulikan orang-orang yang mencoba mencegahnya.

Begitu berhasil masuk ke dalam, Dewa mencari-cari sumber suara tangisan itu. Dewa memasuki sebuah kamar yang tidak terkunci. Rupanya benar, suara tangisan itu berasal dari dalam kamar itu. Ia melihat seorang bayi perempuan berusia sekitar satu tahun yang wajahnya terlihat lucu sekali. Bayi itu menangis, karena tak ada seorangpun di sekitarnya. Dewa pun menggendongnya dan mengusap punggung bayi itu.

"Anak manis, jangan takut. Kakak akan menolongmu," gumam Dewa. Laki-laki itu pun membawa sang bayi keluar dari dalam kamar itu. Lalu ketika berjalan menuju ke ruang tengah, Dewa tak sengaja menengok ke arah dapur. Sebuah kompor tengah menyala, dan sesuatu yang berada di dalam panci itu terlihat mengembang, serta air yang bertetesan dari dalam panci itu.

"Oh sial!" umpatnya. Dewa segera berlari meskipun kayu-kayu rumah itu berjatuhan di hadapannya. Ini benar- benar berbahaya. Ia harus segera memberitahu semua orang untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga.

Setelah berhasil membawa keluar bayi itu, Dewa langsung menghampiri ibu bayi itu yang terlihat bahagia saat mengetahui bahwa bayinya selamat.

"Tolong ... Tinggalkan tempat ini sekarang juga," gumam Dewa dengan napas yang tersengal-sengal akibat napasnya yang terasa sesak. Ia pun menghampiri teman-temannya.

"Tolong ... Pergilah sejauh mungkin ..." pinta Dewa. Napasnya benar-benar terasa sesak akibat kepulan asap yang ia hirup selama di dalam rumah itu.

"Tempat ini ... Tempat ini bakalan meledak!" seru Dewa. Namun, hanya Benny dan Amor yang memedulikan Dewa. Sementara yang lainnya justru mengabaikannya.

"Lo pikir kita bakalan percaya gitu?" pekik salah seorang siswa di kelasnya. Dewa benar-benar tak tahan lagi dengan sikap teman-temannya yang seperti ini. Dewa melihat penduduk-penduduk sekitar berlarian meninggalkan tempat itu.

"Terserah. Mau kalian percaya apa enggak, yang penting gue udah kasih tahu," ujar Dewa sembari menatap mereka dengan tajam. Laki-laki itu pun menarik tangan Amor dan Benny dan berlari meninggalkan tempat itu. Beberapa orang murid-murid, guru, serta staf sekolah mengikuti jejaknya. Namun, yang lainnya benar-benar mengabaikan ucapan Dewa.

Beberapa saat kemudian, ledakan pun benar-benar terjadi. Dewa menengok ke belakang. Astaga, orang-orang itu benar-benar mengabaikan perkataan Dewa, sehingga sebagian dari mereka tubuhnya terbakar. Sedangkan yang Lainnya mengalami luka yang cukup parah hingga benar-benar parah. Dewa benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Seharusnya, ia bisa menyelamatkan mereka semua. Namun kenyataannya, ia tidak bisa melakukan itu ...

*****

Pagi hari yang mendung ini benar-benar sesuai dengan suasana hati para korban kecelakaan itu. Total ada tiga puluh satu korban meninggal, sedangkan dua puluh orang mengalami luka-luka serius. Sebagian besar dari korban meninggal itu adalah teman dan staf sekolah Dewa, dan sisanya adalah penduduk asli.

Jenazah teman-teman, guru, dan juga staf itu telah dipulangkan. Semua itu benar-benar membuat Dewa merasa terpukul, ia merasa benar-benar gagal menjalankan amanah yang diberikan Tuhan padanya atas kemampuan yang ia miliki. Kenapa ia tak bisa melakukannya?

Dewa duduk termenung di pasir pantai setelah mengikuti upacara kremasi korban kecelakaan itu. Ia berkali-kali mengembuskan napas yang begitu berat. Ia ingin menangis, tapi tidak bisa. Ia pun berteriak sembari berlarian dan menendang ombak-ombak yang tengah mencoba menghantamnya. Kenapa harus seperti ini? Semua orang menyalahkan dirinya atas kecelakaan itu. Dewa ingin sekali marah dan berontak, tapi kepada siapa?

Amor sedaritadi memerhatikan tingkah Dewa dari kejauhan. Ia meneteskan air matanya karena merasa sakit melihat laki-laki yang dicintainya menjadi sangat frustasi seperti itu. Seandainya saja waktu bisa kembali terulang, pasti ini tidak akan terjadi ...

***** TBC *****

Kisah SadewaWhere stories live. Discover now