Chapter 44

3.4K 490 146
                                    

Semuanya diam menikmati kebersamaan, Ayah yang sejak tadi tidak melepaskan pelukan padaku, nafasnya begitu teratur. Bos sesialan akan selalu anteng duduk dengan Tita di pangkuannya.


"Mah ?" Ayah bicara ke arah nenek. "Kesalahan Alif sangat mengecewakan Mama, tapi tolong jangan benci anak-anak Alif. Apalagi Dellia, dia korban Mah," rasanya aku ingin menangis, memberi tau bahwa Ibunya sudah membenci aku. Tapi, aku jahat dong. Nenek diam dan tante Arum sibuk mengusap tangan nenek.

"Yah, Dellia nggak papa kok. Meski mereka nggak mau terima, setidaknya ada adik Ayah yang sudi rawat Dellia." Ayah mengangguk tersenyum. Aku mengusap keningnya yang sudah tidak mulus lagi.

"Makasih Guh, Nur. Sudah mau jagain dan rawat anakku." Aku melihat Ibu menangis meski tidak terisak.

"Nanti Ayah ikut Dellia aja ya, kayaknya nggak mungkin di sini. Ibu sama ayah Udah pasti ngijinin, tapi nenek nggak mau kan Ayah aku, di sini ?" Aku menatap minta ijin sama Ibu dan Ayah Teguh, lalu melihat ke arah nenek. Sedangkan nenek hanya diam saja sejak tadi.

"Ya bagus dong. Biar nggak repotin Mas Teguh" ini tante Arum kalau ngomong minta di kasih cabe. Pedes banget. Sedangkan aku hanya memutar bola mata jengah.

"Saya nggak merasa di repotkan" kata Ibu, nah Ibu Nurhaliza yang galak, judes, tapi baik hati. "Kalau memang Mas Alif mau di sini, ya nggak papa."

"Biar Ayah ikut saya aja tante Nur." Lah ? Apaan nih bos sesialan !? Nggak. Enak aja dia.

"Nggak, Ayah sama aku aja. Kan Mas, udah punya istri."

"Kita bicarakan nanti soal Ayah."

"Oke." Kataku, nenek yang sedang diam berdiri, dia terus saja memandangi Ayah. Aku tau, nenek tuh rindu sebenernya. Mungkin rasa kecewa nenek sama Ayah begitu dalam.

"Assalamualaikum. Mbaaaakkkk !!!" Anjir ini kutu, tuh, kan langsung meluk aja. Untung lagi duduk anteng nih aku. "Sebentar gue salam sama kekasih gue dulu, Ibu Nurhaliza," Arka dengan konyolnya malah manggil Ibu kekasih. Semuanya dia ajak salaman, apalagi tatapan Arka ke arah Ayah. Bingung ini bocah kayaknya, karena melihatku dengan keanehan.

"Lo di culik ? Gila !! Ibu tengah malam nangis-nangis pas lo ilang. Gimana, enak nggak ?" Langsung aku toyor kepalanya. Dasar adik durhaka. "Tapi nggak ada yang hilang sih, asli hidung dan mata lo masih komplit."

"Lo mau lihat gue kena mutilasi ? Mau lo di kutuk sama Ibu ?. Datang tuh peluk gue, khawatir napa. Ini malah nanyain enak kagaknya."

"Lebay tau lo." Kami berdua malah adu mulut, ini sih sudah terbiasa ya. "Eh ada Tita." Kata Arka cengengesan.

"Om Ar dari mana ? Cimol aku mana ?"

"Om baru nafas loh. Udah di tanya cimol, nggak ada."

"Om..." rengekan sosok bocah rese malah bikin aku geli. "Oleh-oleh aku, mana ?"

"Ada. Tenang aja, Om bawa banyak. Tita mau ? Kalau mau besok aja." Dasar blangsak !! Ini Ibu dulu ngidam apa sih !?.

Tita nangis dan jadilah Mas Danu yang menggeleng sudah biasa, sedangkan Arka kalang-kabut. "Shuuttt kurang kencang nangisnya tau Tita." Lah ? Itulah kelakuan Arka kalau rayu Tita.

"Ar," Arka menoleh ke arah Mas sesialan. "Boleh pada di ajak keluar dulu, Mas mau bicara sama Dellia."

"Oke Mas." Arka yang tadi gendong Tita, kini berjalan ke arahku. "Gue tinggal ya, mbak cantik kayak ikan itik. Mau merindu dulu sama kekasih hati, iyah nggak Ibu negara ?" Kata Arka menggoda Ibu. Heh kutu. Nenek dan tante Arum sudah keluar.

"Mbak ?" Dan sepertinya Ayahku juga bingung kehadiran kutu satu ini.

"Dia Arka, Mas. Anak aku sama Mas Teguh." Jawab Ibu tersenyum. "Itu pak'de kamu Ar."

MOVE ON DAN MAKAN ( KELAR )Donde viven las historias. Descúbrelo ahora