Bagian 10

64 10 2
                                    

Mereka berlari ke arah tangga darurat, tidak terlihat seorangpun di lorong itu. Mungkin saja pihak hotel telah memberi peringatan pada para tamunya agar tidak keluar dari kamar mereka, sehingga tidak terlihat satupun pengunjung yang berpapasan dengan keenamnya.

“Di depan!” Bima menunjuk sebuah kotak saluran pembuangan sampah, dan hal itu sukses membuat kelima temannya terkejut.

“Jadi maksudmu jalan kita adalah saluran itu?” Jina mencoba protes atas keputusan Bima untuk keluar melalui saluran sampah.

Arial segera membuka pintu dari saluran tersebut, Rio memastikan hal apa yang ada di dalamnya.

“Hati-hati! Mungkin saja ada sampah yang mereka lemparkan dari lantai atas.” Astri mencoba memperingatkan Rio akan bahaya yang mungkin saja terjadi.

“Tapi bukankah ini terlalu tinggi Bima?” kali ini Luis yang mulai protes pada Bima, mengingat posisi mereka kini berada di lantai 18. Bima terlihat menghela napasnya mendengar protes tersebut.

“Dengar! Aku tidak mungkin membunuh kalian termasuk diriku sendiri, aku sudah melihat jalurnya yang kurasa aman. Maka dari itu cepatlah lalui saluran ini atau tidak, kita akan tertangkap!” Bima berucap penuh penekanan kini, ia berpikir tidak ada waktu lagi hanya untuk memperdebatkan jalur yang akan mereka lewati.

“Kalau begitu aku dulu yang masuk.” Arial memutuskan untuk masuk kedalam saluran yang turun ke bawah tersebut, tidak lama Astri dan Jina di persilahkan dahulu.

Setelahnya Rio, Bima dan di akhiri oleh Luis. Benar saja apa yang di katakan oleh Bima, turunan yang di buat saluran itu tidaklah terlalu curam sehingga aman untuk mereka lalui.

Terjatuh di atas tumpukkan sampah adalah hal yang baru bagi Astri maupun yang lain. Bima dan Luis yang baru saja sampai segera berdiri dan melihat pemandangan sekitar.

Mereka dapat benar-benar melihat sisi kelam dari kota tersebut, bau yang sangat menyengat menyambut mereka dengan baik. Air yang tergenang berwarna hitam pekat, nyamuk dan lalat hidup dan berkembang biak dengan baik di sana.

“Ayo cepat bergerak!” teriak Bima pada temannya yang masih tertegun dengan apa yang mereka lihat, dia sadar akan pihak militer yang terus mendekat.

Akhirnya mereka berhasil masuk kedalam mobil yang mereka pesan melalui akun milik salah satu pejalan kaki, mereka berdalih mereka kehilangan handphone dan memohon bantuan orang asing itu.

“Bagaimana selanjutnya? Apa kita harus meniggalkan Kota Co?” tanya Luis pada Bima, Arial dan Rio yang duduk di bangku tengah sementara dirinya dan dua wanita cantik duduk di bangku belakang.

Astri menatap ke arah luar tetapi telinganya tetap mendengarkan apa yang di bicarakan oleh teman-temannya, mungkin saja semua hal yang ia lakukan ini tidak akan membuahkan hasil. Rasa keraguan kembali datang menyelimuti hatinya, tetapi saat melihat kearah langit yang merah Astri kembali mengukuhkan niatnya.

“Untuk sementara waktu aku akan membawa kalian ke tempat yang aman, disana kita harus memikirkan rencana ini lebih matang.” Ucap Bima pada kelimanya.

“Apa rencana kita belum matang?” Luis merasa keberatan dengan perkataan yang baru saja dilontarkan oleh bima,

“Bukan maksudku seperti itu Luis, hanya saja dengan keadaan saat ini… Seluruh rencana matang kita kembali menjadi rencana yang mentah dan penuh resiko. Aku tidak ingin resiko yang kita ambil ini menjadi sia-sia.” Jelas Bima yang tetap tenang menghadapi Luis.

Selama perjalanan Astri dan Jina hanya saling berpegangan tangan untuk berdoa, sebagai seorang wanita yang terjun kedalam masalah serius seperti ini pastilah berat dan tertekan. Dimana mereka tidak akan tahu bagaimana langkah dan takdir mereka selanjutnya.

Mobil yang dikendarai oleh Rio berhenti setelah Bima menunjukkan arah yang akan mereka tuju. Sebuah rumah yang tidak terlalu kecil namun tidak terlalu besar itu terlihat sedikit kotor dan berdebu.

“Dimana ini?” Tanya Jina memperhatikan sekitar maupun kondisi rumah tersebut,

“Rumah yang dahulunya akan menjadi rumahku.” Jawab Bima, kelimanya terdiam dan ikut masuk ketika Bima membukakan pintu.

“Kau mempunyai rencana untuk tinggal di dekat Ibukota?” Tanya Astri, Bima mengangguk dan menyalakan listrik dengan sidik jarinya.

“Maaf, disini tidak tersedia makanan.”

“Tidak apa Bima, kau tidak tahu kapan sebenarnya kau akan mengisi rumah in bukan? Lagipula sebelumnya kita tidak pernah merencanakan akan kemari.” Rio menyimpan tas miliknya di atas meja dan menatap kelima temannya.

“Bagaimana sekarang?” Astri yang pertama bertanya tentang langkah apa yang selanjutnya akan mereka ambil,

“Besok kita akan buat sebuah keputusan, untuk saat ini lebih baik kalian beristira…”

“Apakah kalian tidak berpikir selama ini kita hanya berlari dan kembali berlari?” Jina memotong ucapan Rio yang menyuruh mereka untuk beristirahat, ia terlihat lelah dengan apa yang mereka lakukan belakangan ini.

Menurutnya tidak ada kemajuan apapun dari hal yang mereka lakukan maupun rencanakan, militer dan pemerintah terlalu kuat menutupi kesalahan yang telah diperbuat.

“Kita memang sedang berlari Jina, bukankah kita sudah memiliki sebuah tujuan sehingga kita berlari?” Bima menjawab, Jina berdiri dari duduknya dengan tegap.

“Kita tidak akan pernah sampai pada tujuan kita, jika kita terus berlari Bima!” Jina mulai sedikit menaikan nada bicaranya,

“Kau salah, justru dengan berlari kita dapat dengan cepat sampai pada tujuan. Bukankah seperti itu kebenarannya?” Arial kini membuka suaranya dan membuat Jina terdiam.

“Kau tidak mengerti!” Jina menangis tertunduk dengan tangan yang menutupi wajahnya, ia pasti tertekan dengan semua hal yang telah mereka lalui.

“Aku mengerti dan sangat mengerti Jina, bukan hanya kau yang ingin cepat sampai pada tujuan kita. Tetapi kitapun menginginkan hal yang sama, namun kita tidak bisa memaksakan kondisi ini. Dengan berlari menghindari mereka bukan berarti kita menyerah pada tujuan kita, melainkan kita mencari jalan lain agar semua yang kita korbankan tidak sia-sia.” Rio mengelus pelan bahu Jina dan berusaha membuatnya tenang.

Setelah perdebatan yang cukup menguras air mata, keenamnya ini tengah disibukan dengan hal yang ingin mereka kerjakan sendiri.

Rio dan Luis kembali mengecek seluruh keamanan di wilayah mereka menggunakan peralatan canggih yang selalu di bawa, sementara Bima dan Arial tenggelam dalam percakapan yang hanya dimengerti oleh keduanya. Jina dan Astri duduk menatap keluar jendela dengan cup tea yang mereka beli beberapa waktu yang lalu, cukup repot untuk keluar menggunakan masker dan hoodie tebal. Namun, mereka harus membeli sesuatu untuk di makan.

Pada akhirnya tidak ada satupun dari mereka yang beristirahat di atas kasur ataupun sekedar rebahan.

“Aku tau apa yang ada dalam pikiranmu Jina, tapi ketahuilah… Rio dan yang lain tidak akan membuat kita gagal, karena mereka mencintai Bumi ini, Bumi yang kita pijaki.”

“Aku hanya takut, Astri… Kita sudah berjalan sejauh ini, namun belum ada apapun yang kita dapat.” Keduanya kembali masuk kedalam percakapan yang sensitive.

Tahun Baru Akhir DuniaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora