Six

91.5K 9.3K 204
                                    


Gelap.

Sepanjang mata memandang hanya kegelapan yang Althea temukan.

Thea tidak tahu dirinya kini berada dimana, dan apa yang terjadi padanya hingga ia terdampar di ruangan seperti ini.

Hanya satu hal yang Thea sadari.

Gelap, dan Thea sangat benci itu.

Tubuhnya bergetar karena tidak bisa melihat apapun, Thea merasa sesak, ia tidak bisa bernafas, paru-parunya seakan ditekan dengan kuat hingga terasa menyakitkan, kegelapan bagai merenggut udara yang berada disekitarnya, membuatnya sulit bernafas.

Thea tidak suka gelap, Ia benci.

Sangat amat membencinya.

Kegelapan mengingatkannya pada ingatan masa lalu, membuat kenangan pahit yang sudah terkubur secara rapat didalam memori kembali muncul, menguar keluar dari tempatnya, bermunculan dengan cepat bagai sambaran kilat.

Kenangan itu, kepahitan itu kembali.
Malam kelam itu kembali tergambar jelas di depan mata, bagaimana dirinya dicambuk dengan ikat pinggang oleh orangtua angkatnya, kemudian disekap dalam ruang bawah tanah tanpa penerangan dan makanan selama berhari-hari.

Segala kejadian pahit setelah itu menghantam kepalanya dengan keras, tangisannya, permohonan lirihnya, tidak ada yang mendengar.

"Hentikan! Hentikan kumohon! Berhenti!"

Gadis itu berteriak histeris seraya tangannya menutupi kedua telinga, rambut panjangnya ia jambaki berharap bisa meredam suara-suara pilu yang saling bersahutan di dalam kepalanya, tapi itu tidak menyelesaikan apapun.

Suara tangisan, dan rintihan itu masih didengarnya dengan jelas seakan mengoloknya.

Detik berikutnya cairan bening di matanya tidak bisa terbendung lagi, menitik deras melewati pipinya disusul dengan tetesan lain.

Thea menangis.

Suara tangisannya menggema, terdengar kesepian di sudut kegelapan, begitu memilukan memecah kesunyian, siapapun yang mendengarnya pasti bisa merasakan kesedihan di tiap isakannya, kepedihan yang begitu menyayat hati, yang mendengarnya mungkin akan ikut menangis bersamanya.

Hingga satu suara terdengar menyahuti tangisannya.

Suara seorang pria dengan intonasi tegas, berat, tapi juga lembut secara bersamaan, memecah kesunyian, membersamai tangisan Thea.

'Jangan menangis ....'

Isak tangis Thea mereda, tidak sepenuhnya karena isakannya masih terdengar walau lemah, suara itu membuatnya merasa tidak sendirian, terdengar sangat lembut, mengalun dengan pelan sampai mampu membuat hati Thea merasakan ketenangan, juga rasa tentram dihatinya.

'Kumohon, berhentilah menangis sayang ....'

Thea melepaskan kedua tangan yang menangkup telinganya, netra sembab dan sendunya melirik dalam kegelapan, mencari-cari darimana suara itu berasal.

Kini air matanya sudah tidak menetes lagi, hanya menyisakan jejak basahnya di pipi, Thea tidak berniat untuk menghapusnya, dirinya lebih mempedulikan suara tadi, suara di kegelapan yang menenangkan hatinya, ia ingin mencari siapa gerangan orang yang berbicara itu, Thea menyukainya, menyukai ketenangan yang dirasanya pada suara tersebut, membuatnya tidak merasa sepi.

Tanpa Thea sadari, kaki tanpa alasnya mulai melangkah, berjalan dalam gelap tanpa tahu akan kemana tujuan yang ditempuh, ia hanya mengikuti arah hati kecilnya menuntun, ingatan kelam yang tadi bermunculan di kepalanya telah hilang tanpa bekas, tertinggal dibelakang tanpa sudi Thea ingat lagi, entah pergi kemana semua rasa menyakitkan itu, ia tidak peduli.

The Sleeping Alpha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang