Twenty

96.7K 9.1K 1K
                                    

Tidak pernah ada hal yang paling ditakuti Arthur selama ini selain ketika melihat mate-nya terluka karena dirinya.

Harus melihat bagaimana mengenaskan kondisi gadisnya yang terbaring lelap dengan belitan perban di tubuhnya. Tenang, terlihat damai dan tentram dalam mata tertutupnya. Seperti tidak ingin bangun lagi, enggan kembali membuka mata untuk menghadapi dunia yang pasti telah banyak menorehkan berbagai macam luka padanya.

Arthur sadar jika semua ini adalah salahnya, dia sangat menyadari bahwa gadisnya harus mengalami semua hal menyakitkan ini karena menjadi mate-nya. Arthur menyesal mengapa takdir harus berjalan seberat ini bagi mereka. Seakan tidak sudi memberi bahagia.

Arthur juga sadar dia tidak bisa menyalahkan siapapun untuk hal ini karena semua bermula darinya, sejatinya ini semua akibat kesalahannya dimasa lalu, bodoh karena begitu saja percaya pada seseorang yang dianggapya teman, tanpa tahu kalau temannya itu dimasa depan menjadi sebab kemalangan hidupnya. Amarantha. Jika saja bisa mengulang waktu, Arthur akan memilih tidak bersinggungan dengan wanita itu agar semua ini tidak perlu terjadi.

Tapi tentu saja, waktu tidak akan bisa di putar ulang meski ia sangat ingin, meski Arthur sanggup menyerahkan nyawanya sekalipun sebagai jaminan. Semuanya telah terjadi, yang harus dilakukannya hanya terus melangkah maju dan memperbaiki keadaan agar lebih baik untuknya dan Althea. Agar ia bisa membahagiakan Althea seperti janjinya. Meski Amarantha masih menjadi ancaman, Arthur yakin bisa menghadapinya dan menuntaskan dendam lama mereka asal ada Althea bersamanya.

Apapun masalah yang menghadangnya nanti Arthur yakin bisa melewatinya asalkan bersama Althea. dia teramat mencintai gadis ini demi Tuhan, kini Arthur hanya ingin Althea bangun dan melihatnya ada disini, untuk melindunginya, untuk mencintainya, menjaganya agar tidak lagi tersakiti oleh permainan takdir, tapi sepertinya waktu belum berpihak pada mereka. Disaat dirinya sudah kembali, takdir malah menjemput Altheanya pergi.

"Bangunlah sayang... Sampai kapan kau akan tertidur seperti ini? Apa tidak bosan? Tidak ingin bertemu denganku? Karena jujur aku sangat merindukanmu..." bisik Arthur lirih, suaranya sarat akan kesedihan mendalam. Hanya pada gadis ini ia mampu bertekuk lutut, memperlihatkan sisi terlemahnya.

Menurut Andrew,  kondisi Althea telah stabil,  semua lukanya sudah teratasi dengan baik, hanya menunggu waktu sampai dia siuman. tapi gadisnya seperti tidak memiki keinginan untuk bangun, terlalu lelap dalam buaian mimpi indah, ini sudah lebih seminggu terlewati setelah kejadian malam itu. Tetapi belum ada tanda-tanda Althea akan bangun dari tidurnya. Keadaan jelas terbalik, mempermainkan mereka.

"Bangunlah Lunaku… Jangan siksa aku lebih lama lagi," pintanya seraya terus menggenggam tangan Althea, tangan kecil dan lembut yang tenggelam dalam kehangatan tangan besarnya.

Pria itu mengecup lembut dan dalam tangan gadisnya, berharap dia tahu bahwa Arthur ada disini, menunggunya dengan segenap rindu dan cinta. "Aku mencintaimu sayang, sangat. Lekaslah bangun, karena kami menunggumu."

*****
A

lthea tidak ingat dengan apa yang terjadi padanya sebelumnya, ketika terbangun dia sudah berada di tempat ini, sendirian tanpa tahu bagaimana awalnya.

Dia membiarkan angin lembut menerbangkan anak rambutnya, Althea memejamkan mata untuk menikmati semilir angin yang membelai lembut wajahnya, merasakan kasarnya rerumputan dibawah kakinya, juga langit cerah dengan awan seputih kapas yang terlihat empuk, jika bisa rasanya Althea ingin berbaring di sana sampai tertidur lelap.

Suasana ini begitu damai dan tenang, membuat Althea nyaman dan merasa tidak ingin pergi, biarlah seperti ini selamanya.

"Woah, hujan bunga, hujan bunga."

The Sleeping Alpha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang