Chapter 8

12K 803 5
                                    

Adya merangkul aku sepanjang aku bercerita tentang kejadian di rumah pada Mama dan Papa yang datang ke rumah sakit pagi ini. Mama dan Bunda duduk bersebelahan, sesekali Bunda menghapus air mata Mama padahal dia sendiri pun menangis. Setelah aku selesai bercerita dan mengatakan keputusanku untuk bercerai, Papa mulai berbicara.

"Bagas, saya benar-benar minta maaf karena tidak bisa mendidik anak pertama saya dengan baik sehingga menyakiti hati anakmu sedemikian dalam. Saya sungguh malu dan menyesali ini semua. Saya harap, kamu tidak ikut membenci saya."

"Ji, ini bukan salahmu, sungguh. Saya kecewa, tentu. Tapi kepada Angga, karena Angga sudah dewasa sehingga ini adalah tanggung jawab pribadinya. Kamu dan saya, akan tetap bersahabat, karena bagaimana pun kita ini adalah kakek dari Nadia, itu tak akan pernah berubah. Saya tidak pernah akan membenci kamu karena kejadian ini, Aji. Ini di luar jangkauan kita sebagai orang tua."

"Iya, Mas Aji. Saya dan Mas Bagas tidak akan pernah memutus tali silaturahim kita semua. Adya juga sudah seperti anak kami, Adya harus tetap sering mampir ke rumah Mama ya, Nak walau Rani dan Angga bercerai. Mbak Ai juga, kita kan neneknya Nadia, kita akan mengasuh Nadia sama-sama dengan Rani ya." Mamaku ikut membalas. Aku bersyukur memiliki kedua orangtua yang bisa berpikiran jernih dan tidak emosional.

"Sementara ini, Rani akan kembali tinggal sama Papa Mama dulu, sambil mencari kerja dan rumah baru." Kataku.

"Jangan cari rumah baru, Ran. Tinggal sama Mama Papa juga gak apa-apa. Kan sejak Mas Andi pindah ke Jepang, Mama sama Papa cuma berdua di rumah." Kata Mama.

Aku mengangguk setuju. Mas Andi, kakakku satu-satunya memang mempunyai istri orang Jepang dan sejak setahun lalu memutuskan untuk pindah ke Jepang.

"Oh iya, Mbak. Lo dulu pastry chef kan?"tanya Adya.

"Iya, Ya. Makanya kemungkinan mau ngelamar di hotel sekitaran Bogor atau Jakarta aja."

"Hmm.. jangan, Mbak. Ruko sebelah restauran Bunda kan mau di jual, udah deal harga sih sama kita, tinggal proses pembayaran sama surat-suratnya aja. Awalnya cuma mau perbesar bangunan resto aja, tapi kalau gini mendingan kita bikin bakery aja ya, Bun? Jadi yang makan di resto bisa beli kue sekalian, jadi kayak pusat oleh-oleh kuliner gitu, Bun? Gimana?"

"Wah, ide bagus tuh, Ya. Lagian kan jarak rumah Santi sama Mas Bagas kan gak terlalu jauh dari resto, jadi masih bisa pantau Nadia dan yang jelas kami jadi bisa main sama Nadia terus, gimana menurutmu Ran?"

"Rani setuju. Terimakasih ya buat semua dukungannya. Rani sebenarnya udah susah mau mikir jernih, tapi kalau gak dipaksa mikir jernih pasti Rani akan terus terpuruk. Kalau udah ada ide project baru begini kan Rani jadi punya semangat baru, tujuan baru. Makasih ya"

"Oh, iya Ran. Soal gugatan cerainya bagaimana?" Tanya Papa.

"Mas Angga minta ketemu dulu buat ngebahas masalah ini sebelum Rani masukin gugatan, Pa."

Aku tak pernah menyangka bahwa akan bercerai dengan Mas Angga. Sungguh. Tak pernah ada yang menikah untuk bercerai, apalagi pernikahan kami dulu penuh perjuangan mendapat restu Mami. Aku kira Mas Angga akan menjaga hubungan kami, ternyata aku salah.

Tapi, aku juga tak pernah menyangka bahwa aku bisa setenang ini untuk melepas Mas Angga pada akhirnya. Walau perih, sakit, tapi aku tidak merasa sendirian, karena ada mereka yang selalu menemaniku.

Ting...

Notifikasi ponselku berbunyi. Ada pesan.

Angga Prakasa Widjojo
Ketemu besok jam 1.
Di Cozzy Cafe.

Besok???

ForgivenWhere stories live. Discover now