Chapter 20

16.6K 991 29
                                    

Aku tengah berjuang sekuat tenaga menahan laju air mataku di hadapan sekitar lima puluhan anak yatim piatu di depanku saat ini. Mereka duduk dengan manis, terlihat senyum mereka begitu sumringah melihat kue bergambar unicorn, kartun kesukaan Nadia, sambil sesekali menunjuk-nunjuk berbagai kue dan kado yang aku bawa.

Mataku terpaku pada seorang anak perempuan berbaju biru muda yang usianya mungkin tidak berbeda jauh dengan Nadia andai dia masih ada. Aku kadang masih tidak percaya jika ada Ibu yang tega membuang anaknya, karena saat aku kehilangan Nadia dulu rasanya sudah ingin mati saja. Apa mereka tidak merasakan sakitnya terpisah dari anak yang pernah tumbuh di rahim mereka?

"Anak-anak, hari ini kita kedatangan tamu khusus, lho! Tante Rani, Om Heru, Om Angga, Tante Vita dan itu di belakang ada Kakek, Nenek, Tante dan Om lainnya. Ayo beri salam!" Mbak Dini, pengurus yayasan ini, membuka acara.

"Halooo!!" Kata anak-anak serempak sambil melambaikan tangan ke arah kami yang di depan, lalu ke arah Mama, Papa, Bunda Ai, Papi, dan Adya yang ada di belakang mereka.

"Rani, mungkin ada yang mau disampaikan ke anak-anak?" Tanya Mbak Dini.

"Aku pasti nangis Mbak, aku gak mau anak-anak lihat aku nangis." Kataku.

"Udah, saya aja..." tiba-tiba Heru berbisik ke arah kami. Entah kenapa hari ini Heru memakai baju yang senada denganku, hijau muda, padahal kami tidak janjian sama sekali. "Boleh kan, Ran?"

Aku mengangguk setuju.

"Kenapa kamu bolehin? Aku Papanya! Aku lebih berhak ngomong" desis Angga.

"Nanti setelah Heru, kalau masih ada tambahan silahkan bicara" balasku.

"Halo anakku semuaaaaa" Heru memulai kata sambutannya. "Hari ini, Ayah Heru dan Bunda Rani datang bawa banyak kado untuk kalian"

Ayah? Bunda? Aku menoleh ke arah Heru kaget.

"Emangna boyeh anggil Ayah cama Bunda?" Tanya seorang anak lelaki kecil yang masih cadel.

"Boleeeh doooong!!"

"Ayip da munya ayah.. Ayah Ayip di kubuyan"

"Oh.. kalau gitu, Ayah Heru aja jadi Ayahnya Alif ya.."

"Kalau Ayah, boyeh main boya nanti?"

"Boleh dooong! Nanti kita main bola di taman depan ya.." Kata Heru sambil mengacak rambut anak bernama Alif.

Aku tidak pernah melihat Heru berinteraksi dengan anak kecil seperti sekarang, dan Heru terlihat sangat natural sekali meladeni Alif. Jujur ini membuatku tersentuh.

"Oh iyaaa.. Hari ini Bunda sudah buat baaanyaaak sekali kue, ada kue unicorn ada kue elsa frozen dan nanti Bunda mau ajarin kalian menghias cupcakes. Siapa yang mauuuu?"

Lalu anak-anak bersahut-sahutan menjawab "Sayaa...sayaaa..sayaaa" yang memancing aku tergelak melihat antusiasme mereka.

"Ayah.. Damar gak mau ah bikin kue, itukan untuk cewek. Damar kan laki-laki.." seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun protes.

"Memang kalau laki-laki tidak boleh buat kue?"tanyaku.

"Boyeh tau Kak Damay..Ayip peynah biking kue ping cama Bu Dini cama Kakak Aya...enyak tau"

"Tapi kan masa laki-laki kuenya pink? Emang Alif cewe?"

"Kan Ayip cuka sitobeyi.. enyak.."

"Hahaha...Sudah...yang mau buat kue, nanti mainnya sama Bunda dan Tante Adya, yang mau main bola, boleh sama Ayah Heru. Iya kan, Bunda?" Heru menengahi perdebatan Damar dan Alif. Entah kenapa aku suka saat Heru memanggilku Bunda dihadapan anak-anak ini. Kami seperti sedang menghadapi anak kami sendiri.

ForgivenWhere stories live. Discover now