Chapter 9

12.7K 860 32
                                    

Aku berjalan memasuki Cozzy Cafe bersama Adya. Sebenarnya aku merasa baik-baik saja untuk datang seorang diri ke sini tapi Adya melarangku untuk menyetir mobil sendirian karena aku kurang tidur. Semalam panas Nadia kembali tinggi sehingga ia terus-terusan menangis, aku baru bisa memejamkan mataku selepas Shubuh dan itu pun hanya 1 jam karena Nadia kembali terbangun. Alhamdulillah siang ini panasnya kembali normal sehingga aku bisa agak tenang meninggalkannya di rumah sakit bersama Mama dan Bunda. Mereka sudah datang ke rumah sakit pagi-pagi sekali, Alhamdulillah 

Langkahku semakin melambat, di meja persis di depanku Mas Angga, Mami dan Nevita sudah duduk berjajar, tatapan Mami dan Nevita sangat tidak bersahabat. Mas Angga yang tadi tidak menyadari kedatanganku akhirnya berdiri setelah Nevita berbisik ke telinganya. Mas Angga tersenyum sumringah saat melihatku, entah kenapa dia masih tersenyum seperti itu kepadaku. Senyum yang merekah lebar seperti pria yang memandang kekasih yang lama dia rindukan. Dan aku? Jelas bukan lagi kekasihnya, setidaknya menurutku aku bukan lagi kekasihnya.

Mas Angga berdiri dan berjalan menghampiriku, langkahnya sempat tertahan oleh tarikan tangan Nevita namun berhasil ia elakkan. Mas Angga merentangkan tangannya ingin memelukku, tapi ku tolak.

"Mas, maaf. Aku gak mau dipeluk."

"Ah.. sorry. I am just.. umm too excited to see you here and kinda miss you somehow."

"Miss you.. miss you.. tapi selingkuh.. otak dipake otaaak...",bentak Adya.

"Ya.. udahlah.. Ada Mami.. gak enak ribut-ribut" kataku berusaha menenangkan Adya yang mulai terlihat emosi.

Aku berjalan menghampiri Mami untuk mencium tangannya. Biar bagaimana pun Mami tetap orang tua yang harus selalu aku hormati. Tapi Mami menolak.

"Udah gak usah pakai salam segala. Saya gak mau tangan saya disentuh perempuan yang durhaka sama suami dan gak becus ngurus anak. Ya iyalah, diri sendiri aja gak keurus, hih.."

"Excuse me, Mam. Durhaka sama suami?"tanyaku bingung.

"Ya itu.. Gak kasih izin suami menikah lagi, apa namanya kalau bukan durhaka? Kamu berarti gak mau suami bahagia! Dosa itu."

"Mam... Lebih dosa mana sama orang yang mendukung wanita lain  ngerebut suami orang?" Tanya Adya sambil melirik tajam ke arah Nevita.

"Adya!!! Kamu ini, semenjak tinggal sama perempuan itu jadi kurang ajar ya!"

"Kok jadi bawa-bawa Bunda? Lagian emang Mami kesinggung sama omongan Adya? Berarti emang bener dong Mami ngedukung Mas Angga jadi bajingan."

"Bajingan? Mas Angga sama aku cuma saling mencintai aja kok dibilang bajingan?" Ujar Nevita dengan wajah sedih yang dibuat-buat.

"Sadar diri aja, Mas Angga udah punya anak istri, kok bisa-bisanya suami orang ditidurin juga!!"

"Ditidurin? Lho? Beneran Vit kalian sudah melewati batas begitu?" Tanya Mami kaget.

"Astaghfirullah.. Fitnah itu Mam.. Mana mungkin Vita melakukan hal yang dilarang agama begitu.. Adya kok kamu tega sih nuduh aku begitu.." Nevita menangis sambil memeluk Mami. Aku rasanya sudah ingin menumpahkan jus ke kepalanya tapi ku tahan. Tidak, aku tidak boleh kalah dengan emosiku sendiri.

"Itu bukan fitnah, Mam. Rani melihat sendiri Mas Angga berzina di kamar kami, itu alasan mengapa Rani meminta cerai Mam." Kataku akhirnya.

"Benar itu Angga??"

"Udahlah Mam, Ayo Sayang, Adya.. duduk dulu deh.. Mau pesan apa?" Tanya Mas Angga mengalihkan pembicaraan. Ternyata Mas Angga masih berani memanggilku sayang, panggilan yang kini terasa menjijikan ketika keluar dari mulutnya saat ini.

"Lemon tea aja, Mas. Adya mau apa?"

"Samain aja" jawabnya singkat.

"Gak mau pesan makanan juga?" Tanya Mas Angga

"Gak perlu, Mas.. I'm in hurry, Nadia pasti nanti cariin aku, bisa kita langsung mulai saja apa yang mau kita bahas?"

Mas Angga menarik nafas panjang lalu mulai bicara.

"Ran.. Apa gak bisa kita ga usah bercerai?" Ujar Mas Angga sambil menggenggam tanganku.

Kutarik tanganku menjauh dari genggamannya.

"Setelah apa yang terjadi? Tidak, Mas."

"Udahlah, Ngga. Ngapain masih ngarepin dia sih, jelas-jelas ada Vita. Udah cepet bahas masalah harta gono-gininya."

Harta?

"Harta gono-gini yang mana yang mau Mas bahas?" Tanyaku bingung.

"Ya rumah, mobil, tabungan. Semua. Termasuk biaya mengurus kehidupan kamu selama 3 tahun berumahtangga." Jawab Mami.

"Maaf, Mam. Tapi rumah yang kemarin kami tinggali itu hadiah dari Papa saya untuk saya, masa termasuk harta gono-gini? Even later I'll sell it anyway, tapi berarti itu kan harta Rani karena diberikan sebelum menikah." Jelasku. Entah mengapa pembahasan harta ini seperti antara aku dan Mami saja, karena Mas Angga hanya bisa terdiam.

"Kenapa dulu kamu dapat rumah itu?"

"Karena saya akan menikah, Mam."

"Nah, itu..  berarti kehadiran Angga turut andil dalam mendapatkan rumah itu, ya Angga berhak dong..." cecar Mami.

"Baiklah, rumah itu akan dijual, dan dibagi tiga, untuk saya, Mas Angga dan Nadia. Cukup adil?" Putusku. Aku sudah benar-benar malas berdebat soal rumah.

"Kalau gitu, mobil Mas Angga juga harus dijual dan dibagi tiga, Mam. Kan dibeli setelah nikah sama Mbak Rani." Adya ikut bicara.

"Tidak!! Mobil itu hasil tabungan Angga, jadi Rani gak berhak."

"Kok gitu, Mam??? Gak adil dong!!" Ujar Adya emosi.

"Selama menikah, Rani hanya bekerja selama satu tahun, setelah itu Angga yang tanggung semua. Jika mobil itu dijual, jatah Rani pun habis untuk membayar biaya yang Angga keluarkan, jadi buat apa dijual?"

"Silahkan ambil mobil itu Mas, ambil semua harta yang Mas rasa adalah hak Mas. Silahkan. Saya sungguh sudah tidak peduli dengan itu semua, selama hak asuh Nadia ada pada saya, saya tidak akan minta apa pun." Aku melirik jam tanganku "Baik kalau begitu, saya pamit. Sampai ketemu di pengadilan."

Aku menarik Adya pergi sebelum emosiku memuncak. Sedangkan Mas Angga, hanya menatapku berlalu tanpa berkata apa pun..

ForgivenWhere stories live. Discover now