Chapter 21

15.9K 1K 106
                                    

Heru mengajakku bertemu dengan seluruh keluarga besarnya hari ini. Kebetulan hari ini pengajian empat bulanan kehamilan Cia. Ibu nampak begitu sumringah ketika aku datang pagi ini.

"Aduuuh mantukuuu.. Pakai repot-repot bawain kue segala, padahal kamu mau datang aja Ibu udah seneng lho!"

"Masih calon, Bu. Tapi InsyaAlloh segera jadi menantu Ibu, ya!" Koreksi Heru.

"Udah mau toh, Ran?"

"Iya, Bu. Rani rasa sudah bukan waktunya lagi menunda-nunda jika kami sama-sama berniat baik" jawabku.

"Alhamdulillaaaah... Akhirnya Ibu bakal punya menantu perempuan juga. Semalam Ibu udah bilang sama Cia buat ngerayu kamu cepetan nikah sama Mas Heru, ternyata Mas Heru lebih gerak cepat. Hihihi. Mas Heruuu huebat sampeyan!" Kata Ibu sambil mengacungkan jempolnya ke arah Heru.

"Bu, apa lagi yang bisa Rani bantu? Rani kurang pagi ya datangnya? Kok ini udah siap semua kayaknya?"

"Aduh.. ini sih karena sudah diatur sama EO-nya aja Ran. Ibu udah gak mau capek, kecuali nanti sih pas kamu berdua menikah. Ibu mau bergadang tujuh hari tujuh malam juga ridho. Udah kamu duduk aja ngobrol sama Mas Heru, Ibu mau ganti baju dulu. Eeeehhh... Iya, kamu ganti baju aja nih, Ibu udah beliin baju kita kembaran biar kompak."

Ibu mengangsurkan baju berwarna mint yang ternyata sama dengan baju Ibu, Mila dan Dinda, dua adik Heru yang lain. Yang berbeda warnanya hanya Cia karena katanya dia yang punya hajat, jadi warnanya kembaran sama suaminya saja.

Saat aku selesai berganti pakaian ada seorang wanita yang dari wajahnya aku tebak usianya mungkin sedikit di bawahku sedang berbicara dengan Ibu.

"Duh, Bude cantik banget pakai baju ini. Seragaman ya Bude?"

"Iya, Nis. Seragam, pokoknya sekeluarga sama cuma Cia aja yang beda pakai Putih kan ini acaranya dia, dia minta pakai putih. Ninis sama siapa ke sini?"

Oh..namanya Ninis.

"Sama Mama, Papa. Itu lagi ngobrol sama Eyang Putri. Kebetulan datang barengan."

"Oh.. gitu.." Ibu melihatku keluar dari kamarnya "Raaan.. sini.. Ibu kenalin sama Eyang, yuk!"

"Ini siapa Bude? Kok pakai baju sama kayak Bude?" Tanya Ninis, raut mukanya berubah gak enak saat melihatku.

"Ooh.. iya, ini Rani, calon istrinya Mas Heru. Ran.. Ini Ninis, anak Bulik Asih, adiknya Bapak."

"Halo, Nis" aku menjulurkan tangan mengajak salaman, tapi Ninis mengangkat tangannya, menolak.

"Ah, Bude.. Ini Ninis buat kue coklat untuk pengajian. Bude mau cobain?"

"Nanti saja, Nis. Bude masih kenyang, tadi Bude nyemilin kue jajanan pasar buatan Rani. Enak. Ayo, Ran".

Ibu menarik tangannku untuk bertemu dengan Eyang Putri. Aku jujur saja deg-degan. Kulihat di ruang keluarga ada Heru dan banyak orang lain di sana. Mataku tertumpu pada sosok perempuan berusia lanjut dengan kebaya birunya, wajahnya masih memancarkan kecantikan yang luar biasa.

"Bu.. ini Rani, calon istrinya Mas Heru. Rani, ini Eyang Putri, Ibunya Bapak."

Aku mencium tangan Eyang dan melihat Eyang tersenyum.

"Ayune. Kamu bisa saja Heru pilih calon istri, seleramu seperti Bapakmu, sukanya yang ayu wajahnya. Eyang seperti melihat Ibumu waktu muda dulu, tapi lebih ayu si Rani lho, Na."

"Hahaha.. Eyang bisa aja, Heru ya seperti Eyang Kakung, mencari yang cantik parasnya, cantik hatinya kayak Eyang Putri begini lah.."

"Haduh.. Heruuu..Heruu.. Eyang mu ini sudah tua peyot begini kok ya masih digombali saja. Kamu sudah siap Nduk dinikahi Heru? Kapan jadinya?"tembak Eyang.

ForgivenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang