8 : Coffee

931 116 23
                                    

"Na--"

"NATHAN KEMBALIIN BUKU GUE?!" Ucapanku terpotong oleh suara cempreng nan melengking milik Mina. Huh! Padahal aku sudah memberanikan diri untuk menyapanya, tapi malah rusak karena gadis itu.

Aku menghela napas kasar, "apalah aku cuma remahan rengginang bekas lebaran."

Ya, aku tau dimana posisiku. Aku hanyalah gadis miskin yang bermimpi bersanding dengan seorang Jihoon Nathanino yang bisa dikatakan manusia sempurna, tidak! manusia tidak ada yang sempurna.

Jihoon itu tampan, baik, ramah, murah senyum. aHHH melihatnya tersenyum pada orang lain saja aku sudah meleleh, apa jadinya kalau ia tersenyum padaku atau bahkan tersenyum karenaku?

Bangun Yoojung!

Benar-benar seperti pungguk merindukan bulan.

Tapi, bukannya menyukai itu hak semua orang?

Sudah-sudah, aku harus cepat pulang ke rumah. Pasti kakak sudah menunggu.

Nasib baik tak berpihak padaku, langit nampak abu kehitaman disusul dengan suara petir yang memekakkan telinga. Aku beberapa kali mengusap lengan, hawa dingin langsung menusuk kulit lenganku yang tak tertutup apapun.

"Perasaan tadi masih cerah."

Puluhan air yang jatuh dari langit menghantamku, seolah-olah menyuruhku untuk tidak mengambil resiko dengan tetap berdiri di depan gerbang sekolah yang tak beratap.

Pengertian sekali mereka.

Mau tak mau, aku berlari menuju tempat terdekat yang sekiranya bisa melindungiku dari air hujan. Tetesan demi tetesan air jatuh bersamaan di aspal, membentuk suara indah yang mengalun di telinga. Aku menutup mata dan menghirup napas dalam-dalam, menetralkan perasaanku, juga membersihkan pikiranku yang ruwet karena pelajaran.

Indera pendengaranku menangkap suara langkah kaki yang semakin lama semakin jelas terdengar, aku tak memperdulikannya, sampai suara seseorang mengejutkanku,

"Kinan!"

Ah sial! Kenapa harus dia?

"Oy! Kinan!"

Aku harus pergi, sebelum ia benar-benar menghancurkan moodku.

Kaki kecilku mulai melangkah menjauh dari halte yang ku gunakan untuk berteduh tadi, menembus air hujan yang kini sudah membuat penglihatanku buram. Hujan semakin deras dan tubuhku basah kuyup dibuatnya.

"Padahal besok seragamnya masih dipake, kalau gak kering gimana ini?"

Karena merasa lelah, aku berhenti sejenak. Sekadar mengucek mata dan merapikan rambut. Aku menoleh ke sekitar, ternyata aku berhenti di salah satu kedai kopi minimalis tak jauh dari sekolah. Desainnya nampak glamour dan pasti hanya orang-orang ber-uang yang bisa masuk kesini.

Dengan jahil, aku menatap satu persatu pengunjung di kedai kopi itu sampai seseorang membuat mataku membulat.

Itu Jihoon?

Bukannya tadi sudah pulang dengan Mina?

Tak sengaja mata kami bertemu, ia menatapku tajam.

Hey! Itu bukan Jihoon. Jihoon yang ku kenal adalah orang yang murah senyum, matanya pun teduh tidak seperti sekarang ini yang seperti ingin melahapku hidup-hidup. Buru-buru aku mengalihkan pandangan, sesekali meliriknya yang tak jauh dari tempatku berdiri, tepatnya di meja nomor 29 dekat jendela di ujung sana.

"Eh tapi itu beneran Nathan kan yak?" Sekali lagi aku menoleh, memastikan jika mataku tak salah melihat.

Ia masih disana, dengan rahang mengeras dan tangan terkepal sembari menyesap kopinya. Sebentar, sejak kapan Jihoon menyukai kopi? Eh, itu bukannya cone es krim?

Dumb Dumb ✓Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz