29 : Darah

614 94 27
                                    

silakan diputar mulmednya :)








[Ia Siapa?]
12.10.18

Bibirku tak henti-hentinya mengulum senyum saat mengingat kala itu. Di mulai semenjak aku masuk sekolah menengah atas. Perubahan memang ada, tapi entah kenapa rasanya tak ingin cepat dewasa, ingin jadi anak kecil saja. Mungkin aku terlalu nyaman dengan teman-teman, sampai melupakan fakta bahwa; setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Hati kecilku tak terima, aku ingin begini saja. Berkawan dengan orang-orang yang menyayangiku, yang rela mendengar keluh kesahku.

Ah! Lupakan. Lagipula waktu tidak akan pernah berputar.

Walaupun begitu, aku tetap bersyukur, beberapa dari mereka masih di sisiku. Masih dititipkan Tuhan untuk mewarnai hari-hariku. Meski, dunia kita tak sama lagi. Setidaknya ada alasan untuk tersenyum setiap hari.

Semua serba baru. Teman baru, lingkungan baru, guru-guru baru. Tapi nyatanya, aku masih terjebak di masa lalu.

Sampai suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang senyumnya secerah matahari. Aku tidak mengenalnya, tapi jika melihatnya, rasa damai menembus relung hati.

Baka!

Aku sudah berkali-kali jatuh hati hanya karena senyum secerah matahari. Mata yang menyerupai pelangi. Tapi, yang satu sudah dipatahkan, yang satu tak tahu harus dikemanakan. Ingin sekali mengutarakan perasaan, tapi aku takut semuanya akan berantakan. Walau harus bertahan tanpa suatu kepastian, aku akan ikhlaskan. Menjadi penikmat senyumnya saja aku sudah bahagia, menyelipkan namanya dalam setiap doa juga bukan suatu dosa.

Ia, Nathan namanya. Yang katanya si anak kalem dari MIPA 1. Teman dari sahabatku dulu. Seseorang yang selalu ada di depan mata kala selesai melakukan salam kedua. Ia, dengan rambutnya yang basah dengan air wudhu, selalu berhasil membuat lengkungan di bibirku. Entah kenapa, terus terjadi begitu.

Aku tidak mengharapkan apa-apa. Hanya saja, penyakit manusia tak bisa ku terpa. Secara tidak sadar, rasa ingin tahuku membuncah dalam dada. Nathan, bisakah kita menjadi teman? Bisakah kita berbincang tanpa kecanggungan? Bisakah kita saling sapa saat berpapasan?

Untuk saat ini, aku hanya bisa menerka sifatmu. Bagaimana dirimu yang sebenarnya. Siapakah seorang Nathan itu? Mengapa ia berhasil membuat pelangi di mataku?

Nathan...
Sebuah karunia bisa mengenalmu. Yang mungkin akan jadi segala sumber tulisanku yang baru. Jadi, jangan larang aku mengamati aktivitasmu, mungkin memang sedikit menganggu.

Kamu, tolong tetap jadi kamu yang apa adanya.

Terlepas dari segalanya, aku ingin berkata; selamat datang di hidupku, kisahku, coretan tanganku. Jangan pergi tanpa berpamitan, jangan hilang tanpa kepastian.

Tahu kan rindu itu berat?


























Aku tersenyum kala kalimat demi kalimat itu terangkai dengan apik. Huh! Pertemuan itu benar-benar membuatku terpaku. Ia dan senyumnya saja mampu menghancurkan duniaku, apalagi jika aku berteman dengannya nanti?

Aku tidak bisa membayangkannya.

Akankah ia menjadi bagian terindah dalam kisah hidupku?

Dumb Dumb ✓Where stories live. Discover now