25 : Ilusi

577 98 27
                                    

Hujan yang sama, kala kamu memilih pergi tanpa kata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hujan yang sama, kala kamu memilih pergi tanpa kata. Tanpa seucap perpisahan, tanpa penjelasan. Rindu terasa sia-sia belaka. Menyadari fakta kamu sudah lebih bahagia. Bencikah aku?

Tidak juga.

Aku ikhlas dengan pergimu. Aku akan bahagia juga, tanpamu. Karna aku berharga....

...aku berhak bahagia.

"I will fly into your arms and be with you till the end of time~~"

Lantunan itu berbisik lembut di telinga, seolah tahu bahwa aku merindu. Lagu itu, masih terdengar sama. Hanya saja aku dan kamu sudah tak menjadi kita. Aku dengan jalanku dan kamu pun sama. Hidup kita berbeda. Jikalau ditanya sekali lagi, apakah aku menyesal karena tinggal, jawabannya tidak.

Ya, sebab hidup itu pilihan.

Aku memilih menyerah dengan keadaan, pasrah menerima kenyataan. Sebab, tak ada yang perlu diharapkan dalam sebuah kehidupan. Hujan masih betah turun ke tanah, tetes-tetesnya teratur membentuk sebuah melodi yang melebur dengan kejamnya ilusi.

"Dibilangin jangan minum kopi, nanti sakit lagi!"

Aku tersenyum getir. Rautmu terlihat khawatir kala itu.

"Kinan, be a good girl ya."

Entah apa maksudnya, entah untuk apa mengatakannya. Ada rasa bersalah di matamu, ada kata yang tak mampu diucapkan, suara hati yang tak tersampaikan. Meskipun sudah setahun lamanya, tapi kalimat itu masih saja terlintas.

Rintik-rintik sendu mulai reda, para manusia juga kembali pada aktivitasnya. Semuanya berjalan seperti semula. Kecuali aku, yang masih saja duduk termangu, mengamati keadaan sekitarku. Tak ada yang spesial memang, tapi satu objek menarik perhatianku.

Jersey putih merah bertuliskan...

"Nathan?"

Pupilku membesar, masih dengan keterkejutan, ku raih knop pintu terburu-buru. Ada rasa bahagia bercampur kecewa yang diaduk menjadi satu di dalam sana.

"Nathan?!"

Pekikan itu membuatnya menoleh, kaki mungil ini menuntunku ke arahnya. Berjalan teratur sembari tersenyum lega.

"Hai."

Sapaku ramah dengan suara lemah. Lama tak berjumpa membuatku lupa caranya berkata-kata.

Jihoon mengulum senyum. Manis sekali.

"Apa kabar?"

Akhirnya, setelah sekian lama aku mendengar lagi suaranya. Ia baik-baik saja, tentunya tanpaku. Pipinya sedikit tirus dari sebelumnya, rambutnya pun sekarang berganti warna. Yang dulunya coklat kehitaman sekarang menjadi merah menyala.

"Alhamdulillah baik, kam--"

"Maaf, ada telepon."

Mulutku kembali menutup. Tak ada niatan untuk menghalangi jalannya. Jihoon berjalan menjauh, memberi jarak lagi. Aku terdiam, menatapnya dalam. Ia tersenyum kala suara di seberang sana terdengar, ia berdehem ketika dirasa tawanya menimbulkan suara. Aku meringis, memory itu terputar kembali kala tak ada seorangpun yang mampu menarik atensinya kecuali aku. Tapi kan itu dulu.

Dumb Dumb ✓Where stories live. Discover now