27 : Sepi (1)

504 96 28
                                    

Sunyi...














Sepi...













Sendiri...















Tak ada yang menemani.









"Sel--"

"Ke kantin yok, gue laper, nih."














Lagi-lagi...







Aku hanya bisa memandangi punggung mereka yang semakin lama semakin menjauh dari pandangan. Bibirku terkatup rapat, tak dapat berkata-kata.

Walaupun sudah berkali-kali memberanikan diri untuk sekedar menyapa, nyatanya aku tak bisa. Mereka terlalu sibuk mengomentari masalah keluargaku. Menilai betapa buruknya kehidupanku. Padahal mereka tak tahu apa-apa. Mereka hanya tahu secuil informasi yang masih kabar kabur yang kemudian dicerna dan diterima tanpa tahu faktanya.

Mereka mencemooh.

Menertawakan betapa lucunya kehidupanku.

Betapa bejatnya kelakuan ayahku.

Betapa tak terhormatnya ibuku.

Betapa malangnya nasibku yang harus menjadi imbas perbuatan mereka. Aku yang tak tahu apa-apa, seketika menjadi tersangka utama.

Dijauhi....









Dikucilkan...










Tidak ada yang mau berteman denganku.







Semua orang menghindariku.













Sakit memang. Aku sudah menahannya selama ini. Ingin marah juga percuma, tak akan ada yang peduli.

"Anak-anak, buka buku kalian halaman 56. Di akhir nanti ibu akan adakan kuis."

"Ah?!"

"Ribet amat sih bu!"

Terdengar sorakan tak suka teman-teman sekelas.

Ah! Sudah biasa.

Aku mencari buku yang dimaksud bu guru. Tapi aneh! Ia tak ada ditasku. Padahal aku sangat yakin pagi tadi sudah ku masukkan ke dalam tas.

Setelah mencari hingga sedikit frustasi, akhirnya aku mengacungkan jari, "maaf bu, buku saya tertinggal."

"Kinan gabung saja sama sebelahnya."

Ku lirik seseorang disampingku, ia terlihat berdecak, tak suka.

"Dih, nyusahin."
























Setelah melewati hari-hari tak berarti ini aku tahu semua sifat asli teman-temanku.

Yang dulunya sering mengajakku bicara kini acuh tak acuh padaku. Seolah mereka tak pernah menganggapku ada.

Dumb Dumb ✓Where stories live. Discover now