Episode 1-Obat Jomblo

39 12 17
                                    

Ada rasa yang sulit disebutkan saat melihat orang pacaran. Mulai dari marah, kesal, sedih, cemburu. Alaaa bilang aja baper.

Begitulah aku. Yah, si jomblo menahun yang kecantol mas Adam, seorang guru ganteng tetangga baru--harusnya calon imamku. 

Sayang, mas Adam ini sudah bertunangan. Tahukah apa arti kata bertunangan? Artinya adalah memupuskan mimpi dan kebahagiaan Jombloers sepertiku. 

Aasyem! Memang.

Tetapi, aku tidak akan menyerah. Sebelum janur kuning melengkung manis kayak senyum mas Adam. Maka aku pantang menyerah. 

*** 

Sore itu gorengan di meja ruang tamu tak mampu menghapus resahku. Sementara langit, masih tak bosan mengeluarkan jutaan titik air yang semakin memancing kegelisahan. 

"Dyah, bawa ini ke kamar Revan." Mama memerintah bak Ratu Majapahit.

"Baiklah, Ibunda Ratu," jawabku membungkuk. Si mama menahan kentut.

"Mama mau pulang ke rumah dulu. Udah seminggu di sini, yakin nggak mau pulang?" Mama menyarankan. Aku hanya mengangguk sambil ngeluyur masuk ke kamar Revan, sang putera mahkota. 

Di kamar, Iblis kecil bernama Revan sedang menggambar di meja belajarnya. Benar-benar lagi ngegambarin meja. Buku gambar malah jadi tempat krayon. 

Bocah enam tahun yang cocok jadi anakku itu adalah adik kesayangan semua anggota kerajaan, salah, anggota keluarga. Sedangkan aku hanya puteri bungsu yang terlanjur jadi bebisiter semenjak numpang tinggal di rumah Ibu. 

"Nin, bantu Mamamu beberes dong. Jangan jadikan Revan pelarianmu saja," ujar wanita berdaster cokelat. 

"Masih hujan juga kok. Siapa yang jadi pelarian? Revan? Anak baru belajar baca udah disangka sanggup jadi pelarian? Ngimpi!" jawabku memalingkan wajah dan meliriknya serius. 

"Yaudah. Sebenarnya sih Ibu cuma mau minta tolong, entar kamu ke warung depan beliin teh." Kualihkan pandangan ke arah jendela, mencoba agar tak terkontaminasi tatapan memelasnya. Jika tidak, aku bisa jadi kacung lagi. "Jangan pura-pura!" lanjutnya dengan suara licik nan picik.

"Aku ada janji nanti malam. Jadi, jangan suruh-suruh dulu." 

"Ccuih, janji sama Lia tuh. Dasar duo bebek." Ibu mengucapkannya tulus, sambil mengajak Revan ke dapur. 

***

Lima menit. Sepuluh menit. 

Jam sudah menunjukkan ba’da ashar dan hujan masih belum berhenti juga. Kutarik napas berkali-kali, diembus pelan-pelan. Ibu masih sibuk menghibur Revan yang tiba-tiba menangis karena gorengan sebiji sudah ada di mulutku. 

"Kak Wiwi jahat," katanya dengan wajah berlipat-lipat dan memerah padam. 
Astaga, itu nama siapa lagi yang dipanggil si Revan?

"Biar Ibu kunciin di kamar mandi dia. Biar nggak bisa kemana-mana. Besok Revan sekolah, kalau nangis gini kan jadi jelek. Nah, Tiara nggak mau main sama dedek lagi. Cup cup cup," rayunya manis. 

"Kok hujan belum berhenti?" Aku menimpali, bosan dengan gombalannya yang itu-itu melulu.

 "Emangnya, Nindya mau ke mana?" Ibu penasaran. 

"Nggak kemana-mana sih," jawabku senyam-senyum. 

"Oh iya, kan jomblo." Wajah datar tak berdosa melirikku tajam. Setajam siluet mas Adam. 

Assyeeem! Batinku ingin mengumpat. 

"Sabar ya, Nin. Sabar," lanjutnya menepuk pundak, lutut, kaki. 

Aku ingin kejang saja. Tapi, malu pada meja makan yang penuh sejarah. Apa dia benar Ibuku? Tentu, bukan. Oh, tidak! Sekali lagi aku ternistakan olehnya. Tunggu saja. Kalau mas Adam putus dari pacarnya. Akan kubuat dia jatuh cinta dengan cara apapun. 

"Woy!" Ibu berteriak. Aku menoleh pasrah. "Dikatain jomblo aja langsung layu kek kembang setaman. Nih belikan gula setengah kilo juga ya," lanjutnya memberi uang lima pulu ribu.

"Idiih ngomong apaan sih," kesalku bertambah, segera menyambar uang dan hendak beranjak meninggalkan dapur.

"Dikasih duit, juga mau. Sisanya simpan aja, buat beli obat."

Aku menoleh. "Obat apa?"

"Obat jomblo." Lantas tawanya pecah.

Sialan
aku kena lagi.

***

Waah, aku selalu dibuatnya mati kutu setiap habis mengerjai Revan. 

What? Beli obat jomblo? Obat jomblo kan nikah. Aishh!

Awas lu Van, entar kalau aku nikah, punya anak. Bbeuh, lebih imut dari elu. Entar kayak emaknya, kalah lu. Batinku puas. 

*** 

Dari ruang tamu, kutatap dua wanita istana itu. Keduanya sedang larut dalam canda. Aku bisa melihat mama dan ibu sedang membicarakan anak perawan yang belum nikah-nikah ini. Rasanya pengin lari ke sana dan bawa kabur si Revan lalu dikasih ke tetangga. 

Tapi, tapi.... 

Aku sayang Revan, gimana dong?

****

Bersambung.

****

Gimana ya...
Hehehhe
Jadi nama si tokoh siapa ya??? Kok banyak banget?
Nantikan episode selanjutnya hahahaha #ekhm

Vomentnya ya...
karena voment merupakan sebagian dari sedekah.

TercidukWhere stories live. Discover now