Episode 6: Bertemu Dilan

12 7 9
                                    

Pemandangan malam tak bisa menghiburku. Hanya sekelebat cahaya yang mampu menarik lensa menuju arahnya, selebihnya hanya sebuah kebosanan yang terlalu panjang.

Tak ada kata, tak ada cerita. Mas Adam serius mengemudi motor, sesekali hanya bertanya kalau aku tak kedinginan.

Ini hanya kurang dari 15 menit, tapi, mengapa terasa sangat lambat?

***

Kami tiba di sebuah toko kue sederhana. Pada papan nama toko terdapat tanda X , kemungkinan salah cetak. Aku tersenyum membaca nama toko. Sekilas terbaca 'cute and cake' setelah kuperhatikan bagian yang diberi tanda X adalah huruf 'E' dan kata 'and'.

"Toko baru ya? Kok aku baru lihat?" tanyaku sembari memberikan helm padanya. Ia hanya mengangguk. "Di sini kuenya enak nggak? Ke tempat langgananku aja yuuk," tawarku.

"Ini toko temanku, dia baru buka tiga mingguan."

"Ooh pantas saja."

"Ayo masuk." Aku mengekor mengikuti di belakang.

Bau adonan yang dipanggang segera menuju bulu hidung. Aroma vanila dan butter begitu harum, lumayan menggugah selera. Beberapa orang duduk di kursi menunggu antrian. Selain cake tempat ini juga menjual roti yang baru dipanggang.

"Namanya cute cake atau cute and cake?" Aku bertanya pada mas adam saat kami menghampiri pelayan di depan etalase kue.

"Harusnya cut the cake, nggak tahu kenapa jadi kayak gitu. Yang punya toko hampir gila gegara liat papan namanya jadi begitu," jawabnya santai. "Dilannya ada?" lanjutnya menanyakan pada pelayan perempuan yang mulai keganjenan.

Wait? Dilan? Dilannya Milea? Ini toko punya Dilan? Sejak kapan Dilan pindah ke belakang kompleks? Sejak kapan Dilan jualan kue, eh roti?

Apa ini juga Dilan KW, kayak temannya Bang Cecep? Entahlah.

Aku melihat beberapa cake yang tersisa di etalase. Roti panggang baru saja disajikan di atas meja membuat para pemesan segera berhambur menuju meja kaca itu.

Bisik-bisik terdengar bahwa chef pastry di sini ganteng. Sayup kudengar para pembeli mengatakan bahwa wajahnya setara Afgan. Aku lupakan perintah mas Adam untuk memilih kue, selagi ia sedang digodain mbak-mbak kasir aku pun mencoba kepoin tentang si chef itu.

"Chefnya yang mana?" Aku ikutan melongok ke arah dapur. Yang hanya diberi sekat kaca.
"Itu, Mbak. Yang pake pita biru," jawab seseorang.

"Ah biasa aja," selorohku.

Hening. Mbak-mbak di sekitar segera melirikku tajam, aku palingkan wajah dan berjalan menuju mas Adam.

Bahaya nih, batinku.

"Udah ketemu kuenya? Kira kira bagusan yang mana?"

"Yang black velvet aja," jawabku memandangnya, mencoba menghindari para mbak-mbak pecinta chef di belakangku.

"Red velvet cake maksud kamu?"

"Iya yang itu." Aku mendadak geli, dasar otak, kenapa kamu mendadak bego? Apa ini yang dinamakan gugup?

"Hey, Pak Guru!" seru lelaki mendekati kami. Itu kan si chef. Aku memperhatikan.

"Hay, Di. Tambah banyak aja nih fans kamu!"

"Nggak lah, siapa nih?" tanyanya melihatku.

"Oh ini tetangga. Aku minta nemenin buat beli kue ultah Anggita."

TercidukWhere stories live. Discover now