Episode 2: Gara-gara Dangdut

42 10 15
                                    


Jalanan masih basah, langit pun sudah tampak cerah dan aku enggan untuk keluar rumah. Meski niatan utamaku yang sesungguhnya sudah terbaca oleh ibu, tetap saja malas mematuhinya.

Lama berdiri di teras, kutatap pagar lamat-lamat. Berharap pangeran berkuda akan segera melintas di depan rumah.

***

Ajaib.


Mas Adam tiba-tiba saja muncul, seolah harapanku didengar Tuhan. Dia turun dari mobil bersama seseorang dan lagi-lagi wanita itu.

Panas, aku mendadak cemburu. 

Mangsa yang telah kuincar selama lebih dari dua bulan sedang ada di kandang buaya betina. Aku yang hanya seekor tokek kecil bukan apa-apa dibandingkan aura selebriti yang dimilikinya. Mas Adam, ternyata memang pintar memilih buaya.

Aku bergegas keluar. Membuka pintu pagar sambil grasak-grusuk. Berharap didengar.

"Terima kasih ya sudah anterin aku, Beb. Besok nggak perlu lagi ya, motorku bakalan keluar bengkel kok." Suara Mas Adam terdengar gagah. 

Aku tersenyum memperhatikan. Entah ucapan macam apa yang dikeluarkan wanita berbaju hijau lumut itu. Yang ada di telinga dan mata ini hanya Mas Adam seorang saja.

Ayo goyang dumang, biar hati senang, semua masalah jadi hilang.

What? Suara apa itu? Gumamku kelimpungan mencari arah lagu.

Ternyata lagu itu berasal dari tanganku sendiri. Ponsel ini bergetar sambil mengeluarkan suara Cita Citata? Sial.

"Lagu siapa nih? Kenapa ada di hp aku sih!!!" ujarku kesal setengah teriak. "Halo!" lanjutku mengangkat telepon guna menghilangkan jenis lagu yang tak begitu kusukai.

"Woy di mana? Aku nungguin dari tadi nih."

"Bentar, aku ke warung Bang Cecep dulu." Segera kumatikan panggilan telepon itu. Kuembuskan napas lega dan mendapati Mas Adam, juga wanita itu sedang melihat ke arahku.

Tersenyum, mungkin.

Ketawa, pasti itu.

Segera kualihkan pandangan menuju jalan, berlagak tidak peduli.

"Sialan ini pasti kerjaan si Revan. Adik durhaka!"

***

Di warung bang Cecep aku masih heboh sendiri karena lagu Cita Citata yang secara ajaib nongol di ponsel. Ini bukan kali pertama apalagi kali kedua. Ini sudah seisi kali Ciliwung, kayaknya.

"Aah, si Revan beneran deh. Kemarin Ayu Ting-ting, tiga hari lalu Via Vallen. Besok siapa lagi?" ungkapku marah.

"Diapain Revan lagi, Neng?" Bang Cecep penasaran sambil membungkus belanjaan.

"Bang, nyulik adik sendiri itu dosa nggak sih?" tanyaku menatapnya penuh keseriusan.

"Istighfar, Neng Nindya." Bang Cecep pun menyerahkan bungkus plastik bening beserta uang sepuluh ribuan.

"Istighfaristighfar ... udah," ucapku kesal.

"Astaghfirullah, Neng." Bang cecep kaget. Aku menunduk.

"Dya?"

"Apaan?" teriakku menoleh. Astaga, ada jodoh. Aku bingung dan segera meminta maaf, karena suara yang lepas kontrol.

"Aku baru tahu loh kalau kamu suka dangdutan juga?" Mulai lelaki tampan di hadapanku.

"Siapa? Aku? Hmmm, nggak juga sih."

"Ngefans Cita Citata ya? Sampai dibikin nada panggil gitu?" tanya Mas Adam. Yah, aku jadi bingung mau jawab apa.

"Nggak terlalu ngefans sih, ini hasil kreatifitas anak bebek aja," nyinyirku.

"Ini, Bang," lanjutnya berinteraksi dengan Bang Cecep si klimis berkumis manis yang hobinya ngemil kismis.

"Aku permisi, Kak. Eh, Pak. Eh, Mas?" kataku sok ragu.

"Mas aja. Mas Adam, biar lebih akrab. Mau pulang barengan?"
Mau lah ... nggak mungkin aku nolak.

"Hayuuk, Mas." Senyumku semringah.

***

Asyiik ... makasih ya Revan.
Meskipun kadang bikin kesal. Si iblis kecil itu ada gunanya juga. Gara-gara lagu dangdut yang secara goib ada di ponsel jadi bisa pulang bareng dong.

Besok-besok? Bisa makan bareng nih? Yes.

***


Bersambung


***


Kasihan ya si Nindya, padahal dia pecinta Korea wkwkwkw
Terima kasih sudah mampir ya. Jempolnya mana?
Ayo digoyang!

#eh beda

TercidukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang