Episode 7: Mau Tidak Mau

20 7 8
                                    

Revan dan ibu sudah menunggu di depan teras rumah. Motor tepat memasuki pagar dan berhenti di halaman, dua penghuni rumah itu lekas berlari ke arahku.
Pasti mau ngomel.

"Pak guru," teriak Revan menyambut mas Adam. Hey bocah, kakakmu ada di sini juga woy.

Aku segera memberikan kue pesanan Revan kepada ibu dan menaruh buket bunga di belakang mas Adam. Kuserahkan helm dan berjalan gontai menuju rumah. Rasanya melelahkan.

"Dyah, buketnya bisa kamu taruh di pangkuanku nggak?" Pintanya. Dengan lemas, aku mengikuti perintahnya.

***

Aku bergegas ke dalam. Mencoba menghindari tatapan ibu. Tapi, gagal. Sosok lelaki berkumis tipis dengan baju dalaman berwarna putih dan sarung yang digulung rapat berdiri di depan kamarku.

"Itu beli kue atau keliling kompleks? Lama banget!" Suaranya menggelegar. Aku menunduk.

"Udah lah mas, mungkin susah cari tempat kuenya. Ini juga masih panas. Pasti nunggu dipanggang dulu." Suara merdu ibu menenangkan ototku yang menegang.

"Besok, kamu ikut papa. Kita ke rumah mamamu dulu. Tapi, mampir ke rumah kakakmu."

"Kenapa?"

"Kata ibumu kamu mulai keganjenan lagi sama pak gurunya Revan. Mau jadi apa kamu?"

"Mau jadi istri yang baik."

"Eh malah jawab. Diam nggak."

"Maaf Pa...," ucapku lemas.

"Mas...." Ibu lekas menggandeng mesra papa dan memberi kode padaku agar segera masuk ke kamar. "Kita makan kuenya dulu ya, Revan coba kamu ambilin piring dulu."

"Oke, Bu," jawab revan santai.

Aku pun segera ke kamar dan mengunci diri.

Mama, aku juga pengin kue tinkerbell itu. Nggak, aku pengin rasain kue buatan chef Andi.

***

Ddoarr ddoaar...

Pintu kamar digedor kasar. Kasihan.

Pasti papa. Kalau ada dia, rumah ini bisa dipastikan runtuh. Terakhir waktu aku ganjen ke mas Adam, terus ketahuan papa aku langsung dihukum nggak boleh ke warung bang Cecep selama empat hari.
Nah.... Pas aku bandel dan tetap pergi ke sana, dagangan bang cecep hampir disita sama papa.

Biasanya, pagi buta begini, suara gedar gedor pasti tanda untuk bangun dan sholat subuh berjamaah.

"Nindya!" teriaknya.

"Ya Allah, Pa? Ini bukan di rumah mama loh, ini perumahan. Ngak malu didengar tetangga." Aku keluar dan melihatnya sudah ready dengan baju koko warna biru muda.

"Ambil wudhu sana!"

"Iya."

Sumpah, aku nggak like banget kalau papa seminggu di sini. Rasanya udah kayak setahun dipenjara dan aku tuh jadi kayak setan yang dikunciin selama ramadan.

***

Ba'da subuh, kudengar papa dan Revan sedang bercerita di kamar kedua. Ini moment yang kusuka, dengarin papa mendongengkan sesuatu untuk Revan. Selain sebelum tidur, papa juga sering menceritakan dongeng lucu di pagi hari.

Ngomong ngomong soal lucu, aku masih nggak habis pikir soal chef Andi semalam.

Apa aku baper tanpa alasan? Sama kayak mas Adam. Entah lah, rasanya aneh saja kalau mengingat kejadian semalam.

Ponselku berdering. Nama si bakwan muncul. Ya ampun belum jam enam udah nelepon aja.

"Kenapa?"

"Assalamualaikum, gimana kencannya?"

TercidukWhere stories live. Discover now