Episode 5: Terbawa Perasaan

12 8 17
                                    

Ke kanan, ke kiri.
Mungkin tirai jendela depan ini sudah lelah dengan perbuatanku padanya. Mungkin pula jika dia makhluk hidup, sudah habis aku dililitnya.
Tak puas mengibas-ngibaskan tirai ungu tua itu, aku berjinjit agak condong ke depan.

Begini ya rasanya tukang ngintip? Malu-malu berdebar. Batinku mengeluh.

Eh, tapi jika bukan demi dia. Mana mau aku melilitkan harga diri pada tirai yang menempel manja itu.

"Didatangi saja, kok ya susah amat sih, Nin." Ibu mengeluarkan suara emasnya.

"Bu, aku itu bukan dirimu yang bisa semudah itu meluluhkan hati Papa."

"Idiih, siapa yang meluluhkan? Mamamu tuh, yang datang ke Ibu ngemis-ngemis minta menjadikanku istri kedua. Waktu itu kamu masih telur cicak, mana tahu kamu?" sanggahnya tiba tiba.

Ajaib, kini dia di sebelahku. Kalau masalah Papa dan Mama, bebek betutu ini pandai menyanggah.

"Udah, sana bebek buruk rupa," serunya sambil memegangi pundakku, menyeret ke arah pintu. Bagai karung beras yang mau diangkat.

Krieett.
Pintu terbuka.

***

Mas Adam yang sedang mencuci motor di halaman rumahku, tak menyadari ada kembaran peri yang didorong iblis ke arahnya.

"Ibu apa apaan sih?" Tatapku kesal, sesaat.

Ya, istri kedua papa ini terlalu akrab denganku. Dia bukan kesayang papa, karena hanya Revan si bungsu lah yang menjadi kemudi rumah tangga mereka.

Ya, selain perhatian dan kasih sayangnya kepada empat puteri papa yang cantik jelita, utamanya aku. Membuat mama mempertahankannya.

"Mas Adam." Suara cempreng nan membahana menggema dari pintu pagar.

"Eh, Lia. Mau ketemu Dya ya?" tanyanya menyambut teman rumpiku itu.

"Lia ...," panggilku sok cari perhatian.

"Apaan sih? Pake sms segala, baru tadi pagi aku ke sini. Malah disuruh ke sini lagi. Kamu pikir kakiku ini terbuat dari batu, nggak peka gitu?" cerocosnya tak keruan. Aku menunduk saja.
Dasar bakwan! Batinku kesal.

"Halo Ibunya Revan. Dedek Revannya sudah pulang sekolah belum? Mau aku ajak jalan, supaya mengerti arti hidup yang berkelok," lanjutnya mengabaikanku yang baru saja dibuat mati kutu.

"Dedek Revan sudah Ibu jodohkan, kamu nggak masuk kriteria," balasnya judes dan masuk ke rumah.

Aku mengedip beberapa kali, memberi kode agar si bakwan diam dan mengerti. Sialan, Lia malah balas bekedip.

"Dya!" Panggil mas Adam. Aku lekas menoleh manja, tersenyum tanpa micin.

"Pake ha Mas, Dyaaahh." Senyumku sesaat.

"Makasih airnya ya, bilang ke Papamu juga terima kasih. Aduh, di rumah pake acara mati air segala sih, kan malah ngerepotin."

"Nggak ngerepotin kok." Aku hanya meremas jemari, berharap dirinya memanggil namaku sekali lagi.

"Tanganku sakit," lirih Lia membuyarkan tatapanku pada punggung mas Adam yang tengah mendorong motor menjauhi halaman rumah.
Ternyata yang kupelintir sedari tadi adalah tangan Lia. Pantas saja tanganku tak merasakan apa-apa.

***

Aku menatap Lia kesal. Lia memalingkan wajah, seolah tak ingin bertukar pandangan. Entah apa maunya barusan? Bicara seolah tak tahu alasanku memanggilnya kemari. Sepertinya dia sengaja cari perhatian mas Adam, apa jangan-jangan Lia juga suka saama mas Adam?

TercidukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang