Episode 3: Seperti Bunga

39 10 7
                                    

Aku benar-benar bingung. Kemarin adalah hari terindah paling nyata yang kulalui bersama Mas Adam. Meski hanya singkat, cuma jalan bareng dari warung ke rumah. Tetap saja itu sangat berkesan.

Sayangnya, Mas Adam justru bikin petisi secara tidak langsung. Dia tiba-tiba saja minta saran warna untuk undangan yang cocok buat acara lamaran.
Pengin bilang pasang bendera kuning aja. Tapi, takut kalau Mas Adam marah.


Jahatnya kau, Mas. Segitu nggak pekanya sama cewek yang lagi naksir kamu? Jahat.


***


Tok tok tok ....

Aku abaikan bunyi itu, masih sibuk menulis di kertas pink.

"Nin, Nindya ada soulmate kamu nih." Suara ibu lembut.

"Siapa?"

"Personil geng jombi, si Lia."

"Suruh masuk aja, Bu," kataku.

"Kamu merintah Ibu nih? Nggak gratis, ada bayarannya."

"Apaan lagi sih?" Aku begegas buka pintu.

"Ini kan hari minggu. Ajak Revan jalan-jalan. Ibu mau ke pesantren, Naysilla minta ditengokin."

"Terus?"

"Ya, kamu jagain Revanlah, minggu depan kan jatah Papamu ke sini. Jadi Ibu pengin nyantai di pesantren dulu."

"Iya udah, Lia-nya mana?" sergahku enggan berdebat. Ditatapnya wajahku, mata kami bertemu pada satu titik. Dia mengedip kemudian tersenyum curiga.

Bodo amat, batinku.

"Di depan. Disuruh masuk nggak mau. Malah nanyain bunga," kata ibu sambil menunjuk ke arah teras.

"Bilang aja, bunga yang jagain Zombie udah pulang. Maaf, lupa bilang kemarin sore."


"Halah, pake kode-kodean segala. Cari kerja gih biar nggak nganggur." 

"Iya iya ... Lia-nya mana!!!" kesalku.

"Ckckckck, masih jam enam udah mau ngerumpi aja. Kualat loh," ujarnya melenggang meninggalkanku.

***

Suara Lia perlahan semakin jelas. Setelah sebelumnya terdengar hampa di telinga, entah apa yang dibicarakannya sedari tadi.

"Jadi aku harus gimana? Dia jahat banget!" Aku mengikuti ritme yang dibawakannya. Mencoba mengerti kata-kata yang tadi diucap Lia.

"Makanya jangan sedih mulu! Sebagai teman gue jadi ikutan sedih nih." Lia menepuk pundakku.

"Hah, gue? Sejak kapan kamu ngomong begitu? Salah minum obat ya?"

"Aku, Dyah. Iya, aku hmm ...," ujarnya menoleh menghindari mata. Pasti sedang memakiku.

"Dyah? Biasanya panggil Dewi atau Wiwi? Mau sok baik ya? Biar aku nggak ngambek lagi?"

TercidukWhere stories live. Discover now