Episode 9: Antimainstream

15 8 9
                                    

Nanti dulu? Apa dia orang yang akan kencan buta denganku? Apa dia orang yang akan dijodohkan denganku? Apa dia tukang cukur? Oh tidak. Kebetulan macam apa ini? Komedi macam apa ini?

Ogah aah, hatiku masih setia pada mas Adam kok.

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya mendekat. Aku terdiam bingung mau jawab apa. "Kayaknya kamu nggak lagi hamil deh?"

"Ya iyalah, kan ini acara tujuh bulanan kakakku." Dia mengangguk dengan membentuk huruf O pada bibir berwarna agak cerah. Tipikal, non perokok.

"Kak Dewiii!" Revan teriak-teriak di depan pintu dapur. Aku dan chef Andi otomatis menoleh. Aku menoleh ke kiri, memalingkan wajah agar tak bertemu Revan. Sedangkan chef Andi sebaliknya, ia menoleh ke arah Revan.

"Mampus," gerutuku.

"Itu anakmu?" tanyanya tiba tiba. Aku hanya menggeleng. Anak apaan coba?
Aku perhatikan chef Andi kini berjalan mendekati revan.

Jangan! Jangan ke situ. Batinku menahan resah.

"Ooh lucunya," kelakarnya berjongkok di hadapan makhluk itu, sambil mendaratkan jemari di pipi kanan Revan, hendak mencubit nampaknya. Wah, cari mati dia.

Plaakkk!

Bunyinya, tampak menggambarkan rasa perih yang amat pedih. Revan menepuk dahi chef Andi. Aku terdiam, para karyawannya tertawa.

"Kak Dewi," abainya melewati chef Andi yang masih shock dalam posisi jongkoknya itu.

"Apa?"

"Nanti sore kita ke toko di sebeleah sana ya. Revan mau dibeliin mainan sama kayak punya Ari."

"Nggak mau." Aku menolak dan melihatnya santai.

"Pokoknya, harus mau," lanjutnya meninggalkanku dan berjalan kembali melewati chef Andi. Dia sepertinya trauma dengan anak kecil yang baru saja melewatinya.

"Dia nggak seperti anak lainnya. Dia hyperaktif dan nggak suka dibilang anak kecil. Kecuali yang ngomong cewek cantik," ujarku melihatnya yang sudah bisa berdiri dengan kedua kaki itu.

"Itu bukan anak kamu kan? Yang kamu beliin kue kemarin?"

"Adik, bukan anak. Ckkck!" Wajah chef Andi masih tampak kaget. "Udahlah, dia emang begitu. Maafin, adikku ya."

"Aku cuma kaget. Nggak sakit juga kok," jawabnya menghela napas.

Yah, bukan Revan namanya kalau nggak kenalan dengan cara antimainstream.

Aku ingat waktu dia umur dua tahun lebih dan untuk pertama kalinya dibawa ke markas geng jombi. Semua cewek yang peluk Revan dan pegang pipinya akan dipanggil, "Mama".
Tapi, waktu dipeluk bang cecep, malah dikencingi. Apes.

***

Aku berdiri di pintu depan, memerhatikan chef Andi yang kembali sibuk mengatur barang barang katering di mobil. Mata kami pun bertemu saat ia melirikku. Ia tersenyum, aku mengangguk asal.

Chef Andi selesai melakukan perkerjaanya dan berjalan ke arahku. Anak-anak sedang bermain di luar rumah, yang lain bahkan sudah tertidur jadi tak terlalu ramai lagi.

"Duduk situ yuuk," panggilnya padaku menunjuk bangku di taman depan.

"Ngapain?"

"Ada yang harus aku omongin," tawarnya lembut. Aku pun setuju.
"Jadi Dewisha itu kamu?" Mulainya menatapku. Aku berdehem sekenanya. "Ipar kak Deni ya? Apa mungkin kita ini jodoh ya?"

"Jodoh dengkulmu."

"Hush, jangan galak-galak. Nanti aku jatuh loh."

"Jatuh?" Dahiku mengernyit. Jangan bilang mau gombal, basi.

TercidukTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon