Jawaban

9.6K 1.5K 442
                                    

"Lo tunggu aja, gue mau ke toilet."

Ben memakirkan mobilnya setelah tadi dia mengisi bensin. Belum ada sejam di restoran tersebut tapi mereka sudah memutuskan untuk pulang.

Rencana yang bagus sekali, memperbaiki hubungan dan sebagainya hanya harapan belaka. Waktu sepertinya masih menjadi musuh mereka karena belum menemukan momen yang tepat untuk saling bicara.

Dering dari ponsel Ben di kursi merasuk ke pendengaran Reuben dan membuatnya melihat siapa yang menelfon.

Aila

Dengan foto mereka berdua, Ben yang memeluknya dari belakang. Mungkin terlihat romantis dimata orang awam, tapi tidak bagi Reuben.

Bahkan Ben tidak memasang foto pada nomor ponsel Reuben. Hanya tertera sebuah nama saja, beda dengan Aila yang ketika menelfon akan terpampang wajah mereka.

Ada keinginan Reuben untuk mengangkat tapi dia menahan diri. "Bangsat." Gumamnya.

Dia berusaha mengalihkan perhatiannya dari bunyi ponsel yang tidak berhenti juga. Entah memainkan perseneling, mengelus kemudi, memainkan pewangi mobil sampai membuka laci dashboard yang seharusnya tidak pernah dia lakukan.

Satu buah lipstik berwarna merah terang langsung menyerang matanya ketika laci itu terbuka.

Reuben mengambilnya, membuka penutupnya dan melihat jejak bibir yang tercetak pada ujung lipstik itu.

Lalu dia mengembalikan pada tempat semula. Perlahan kepalanya seperti terserang rasa pening ringan. Namun seperti menusuk tanpa henti, semakin lama terasa menyakitkan.

Dia menunduk bermaksud untuk meredakan sakitnya tapi tidak berpengaruh. Dia menggerakan lehernya ke kiri dan kanan agar peningnya hilang.

"Maaf lama tadi-" Ben masuk ke dalam mobil dan memperhatikan. "Lo belum minum obatnya, kan?"

Ben kembali keluar menuju mini market yang untungnya ada di pom bensin ini. Dia membeli sebotol air putih, sedikit berlari agar lebih cepat.

"Mana obatnya?" Tagih Ben.

Reuben merogoh sakunya dan mengeluarkan toples kecil. Menuang beberapa butir ke telapak tangannya.

"Mana airnya?" Pinta Reuben.

Sebelum memberikan airnya, Ben mengambil beberapa butir obat dari tangan Reuben. "Lo tau apa efek sampingnya."

Dan Reuben hanya menurut saja, dia juga sudah tidak mampu mendebat perkataan Ben. Dia menenggak obat tersebut beserta airnya hingga tersisa setengah.

"Nyokap lo udah berusaha buat ngatur pola hidup lo supaya bener. Tapi gue yakin lo cuma bisa di awal doang, kan? Akhir-akhir ini gimana?"

Kepala Reuben bersandar. "Dia pasti cerita semua ke lo."

"Dia peduli, gue juga. Jadi tanpa Nyokap lo berniat buat ngasih tau, gue tanya duluan."

Reuben tidak menjawab, dia hanya memejamkan matanya saja. Dia sadar bahwa Ben masih melihatinya dengan seksama.

Pening di kepalanya berangsur hilang. Kata dokter memang akan menjadi perjuangan ketika Reuben sudah menyelesaikan segala prosedur pengobatannya. Karena jika dia mengabaikan apa yang diperintahkan, kapan saja sakitnya bisa muncul.

Tubuh Reuben masih dalam tahap adaptasi, jika dia malas dan lalai sedikit saja tubuhnya akan berontak. Sebisa mungkin dia harus hidup sehat tanpa beban pikiran.

"Aila nelfon lo terus dari tadi."

Kedua mata Ben mengerjap. "Apa?"

"Lo budek? Telfon balik aja, biar gak berisik."

Candala [2]Where stories live. Discover now