Terbagi

9.3K 1.4K 629
                                    

Senja yang menghiasi langit tidak juga membuat kedua pria yang sejak tadi duduk di warung tanpa berbicara itu berpijak dari tempatnya. Mereka seolah asik dengan pikiran masing-masing dan mengesampingkan apa yang ada di sekitar.

Dua roti yang sebelumnya sudah habis, mengharuskan Reuben membuka satu lagi karena mulutnya masih tidak ingin berhenti mengunyah.

Gildan juga sudah menghabiskan tiga batang rokok yang sedari tadi tidak berhenti dia hisap. Jaket kulit yang melekat di tubuhnya itu sangat kontras dibandingkan dengan orang lain yang mengenakan warna baju yang tidak mencolok.

"Lo gak bolehin gue ngerokok tapi lo sendiri malah asik buang asep di depan gue." Sindir Reuben.

"Siapa suruh lo duduk deket gue?"

"Siapa suruh lo larang-larang gue?" Balas Reuben.

"Lo mau penyakit lo kumat lagi?" Cetus Gildan. "Terserah sih, lo ini yang menderita."

"Tau darimana gue abis selesai berobat?"

Telunjuk Gildan mengarah ke sisi kepala Reuben. "Ada bekas jahitan."

Dia memegang kepalanya sendiri, karena sempat lupa bahwa ada bekas yang tertinggal disana. Sebab ketika dia bercermin pun tidak terlihat jelas, tertutupi oleh rambut.

"Lo kenapa bisa ke daerah sini?" Tanya Reuben.

"Kalo balik emang lewatin jalan ini." Gildan menginjak puntung rokoknya. "Lo sendiri? Diturunin temen lo karena dia sama pacarnya?"

Ternyata Gildan memang memperhatikan ketika Reuben masuk ke dalam mobil. Dirinya juga tau bahwa Ben melihatinya dengan tidak bersahabat, seperti tidak suka. Dia juga tau ada perempuan yang duduk di samping kursi pengemudi.

"Gue yang milih cabut, males juga liatin mereka pacaran."

"Kenapa emang? Lo cemburu? Naksir sama ceweknya?" Gildan malah jadi terlihat ingin tau.

"Apaan sih lo? Pengen tau banget."

"Gue jail salah, baik salah." Gumam Gildan.

Tidak selalu sifat menyebalkan Gildan muncul. Ada kalanya dia bisa menjadi lebih tenang dan bisa diajak mengobrol. Situasi ini juga tidak pas jika dia memancing emosi Reuben, karena bisa-bisa bukan hanya adu mulut saja, tapi adu pukul akan terjadi kembali.

Gildan menepuk pahanya dan berdiri. Meresleting jaket kulitnya hingga leher lalu berjalan menuju motornya yang terpakir.

Memasukan kunci dan menyalakannya. Sebelum dirinya memakai helm, dia melihat ke arah Reuben yang masih duduk. "Mau sekalian gak?"

"Gue bisa sendiri."

"Yakin? Emang lo tau daerah sini? Gue kasian liat lo kaya anak ilang disini."

Benar juga, Reuben tidak tau rute angkutan umum yang menuju rumahnya. Taksi juga tidak ada, ponselnya sudah mati total.

Nasib sedang tidak berpihak padanya hari ini. Dari pagi sejak pertemuannya kembali dengan Gildan sudah menjadi awal yang buruk. Untungnya anak itu sedang tidak mencari masalah sekarang.

"Gue pinjem hp lo aja buat pesen ojek."

"Gak usah, sama gue aja. Gak bayar juga." Gildan masih berusaha meyakinkan.

Terpaksa, ingat ini adalah keterpaksaan untuk Reuben. Dengan berat hati dia melangkah menuju motor Gildan dan duduk di jok belakang.

Tanpa bicara apapun lagi, motor itu berjalan santai membelah lautan kendaraan lainnya.

Menempuh waktu cukup lama, pastinya. Karena Ibukota menjelang malam begitu laknat bagi para pengendara dan pengguna angkutan umum. Belum sampai rumah kita sudah ubanan duluan.

Candala [2]Onde histórias criam vida. Descubra agora