Pergerakan

9K 1.2K 278
                                    

Kini Gildan kembali pada tempat duduknya semula, tepat di depan Reuben. Setelah akhir-akhir ini dia berusaha menjauh, sekarang dia bersikap biasa. Karena dirinya juga tidak memungkiri bahwa selalu ada ketertarikan dari mantan musuhnya yang berhasil mencuri perhatiannya.

Batinnya seperti bergejolak untuk membantah ketika dia ingin menghindari Reuben. Selalu ada hal yang membuat dirinya menoleh ke pria tersebut, selalu ada hal yang membuatnya tidak bisa berpaling walau hanya sebentar.

"Lo seakrab itu sama Ben?"

Mereka berdua masuk ke kelas hanya untuk meletakan tas dan memilih pergi ke atap sekolah. Satu-satunya tempat yang jarang didatangi oleh guru dan memang sering menjadi tempat para murid untuk bolos pelajaran.

Gildan memang mengajak Reuben mengobrol di tempat yang nyaman. Dimana tidak ada orang lain dan mereka bisa membahas sesuatu yang hanya bisa dibicarakan secara pribadi.

"Sejak setahun lalu, kenapa emangnya?"

"Dia kaya negesin ke gue buat gak kelewat batas sama lo." Gildan memantik rokok yang terselip di bibirnya.

"Emang kita bakal kelewat batas?" Angin menerpa wajah Reuben hingga membuatnya menyipitkan mata ketika menatap Gildan.

"Mau lo gimana?"

Ada sebersit rasa bahagia yang tidak bisa ditolak ketika Gildan bertanya seperti tadi. Perasaan Reuben menghangat, tapi di satu sisi ada seseorang yang memang tidak beranjak dari sudut hatinya yang terdalam.

Gildan mengeluarkan pertanyaan yang menunjukan bahwa dirinya tidak menolak dengan apa yang dirasakannya. Dia malah meminta kepastian dari Reuben, bahwa apa yang terjadi pada mereka bukan cuma sekedar kejadian tanpa terduga.

"Lo tau apa yang gue rasain dan lo udah liat kalo ada pintu yang terbuka lebar. Tapi gue gak bisa gitu aja ngebiarin lo masuk, ngerti kan?"

"Gue gak akan masuk tanpa seijin lo." Jelas Gildan.

Mereka menatap lama seolah mencari keseriusan dari bola mata masing-masing. Tidak ada kebohongan tentu saja, semua jujur apa adanya.

"Ini bukan karena lo menutupi kesalahan yang lo anggap gak bisa hilang, kan? Karena gue gak mau rasa itu cuma karena kasihan." Reuben memastikan.

"Gue merasa beban yang numpuk selama ini lepas gitu aja saat lo bilang ini bukan salah gue aja, saat lo terima maaf gue walaupun dengan agak berat karena terlambat ucapin itu."

Gildan melanjutkan lagi. "Gue terima ciuman lo, gue meluk dengan rasa khawatir dan gue mengakui tanpa ada ketakutan walaupun ada orang yang bakal menghalangi."

"Ben adalah alasan gue gak bisa nerima lo meskipun gue pengen kita melangkah lebih jauh lagi. Tapi Ben juga jadi alasan kenapa gue butuh seseorang yang selalu ada tanpa kenal waktu." Reuben merasa lega ketika pelan-pelan dia berkata apa yang ingin dikatakannya.

Mereka saling mengungkapkan tanpa merasa tertekan. Sebelumnya bibir seolah terkatup rapat meskipun batin berkata lantang. Tapi kini keduanya melepaskan semua itu.

Tidak ada pemikiran apa yang akan terjadi pada mereka. Hanya ingin saling jujur satu sama lain tanpa berharap akan ada ikatan, walaupun di benak keduanya menginginkan hal yang sama.

"Mungkin kalo orang di posisi gue, dia bakal bilang nunggu gak tau sampai kapan. Tapi buat gue, itu gak berlaku." Gildan membuang puntung rokoknya yang masih panjang. "Gue emang bilang akan bergerak sesuai ijin dari lo, tapi gue cuma mau mastiin satu sekarang."

Gildan mendekat tanpa disadari Reuben. Pergerakannya begitu halus seiring langkahnya yang tidak terbaca. Lengannya yang bebas juga begitu cepat menyergap lehernya, menariknya dalam satu kali hentakan.

Candala [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang