Bahagia [END]

18.2K 1.6K 1.1K
                                    

"Alasan kenapa gue gak nanggapin lo adalah kita yang sama-sama saling menyakiti. Gue merasa pengecut karena nyelamatin lo dari Ben tapi disaat yang sama juga nyakitin dia." Gildan bersuara setelah dari tadi dia tidak menjawab alasan keterdiamannya.

"Tanpa sadar gue ngelukain perasaan lo dan Ben. Pikiran gue yang cuma mentingin diri sendiri seakan mengesampingkan apa yang lo dan Ben rasain. Tanpa mau tau dan coba buat paham lebih dalam." Selama ini Reuben hanya melihat dari apa yang dia mau.

Mereka berdua memutuskan bicara di sebuah taman kota yang sebenarnya banyak sekali orang datang berkunjung disini. Tapi karena sekarang masih siang hari dan cuaca sedang panas, jadi cukup sepi.

Hanya ada beberapa pedagang makanan yang memang sudah berdagang sejak pagi hari. Juga ada segerombolan anak sekolah lain yang sedang bermain basket, agak berjarak dari tempat mereka duduk.

"Gue juga gak bisa untuk selalu ada di samping lo kaya Ben, apalagi dengan seenaknya dateng ke rumah dan ketemu Nyokap lo." Ujar Gildan. "Perasaan bersalah gue gak akan bisa hilang."

"Terus lo milih pergi setelah apa yang terjadi sama kita?"

"Sebelum semuanya lebih jauh dan gue semakin gak bisa ngelepas lo."

Reuben menoleh. "Kita udah bertindak jauh, bahkan gue sama Ben gak pernah sampe ke titik ini." Mendapatkan sorotan mata dari Gildan. "Oke, hampir."

Kerumitan masalah yang berputar di sekitar mereka bagaikan terpaan ombak laut yang menggulung tanpa henti. Rasa sakit terus menusuk seiring kejujuran dan kata hati yang terungkap.

Kesalahan di masa lalu menambah beban yang semakin memberatkan. Tidak mudah melupakan hal tersebut, karena selalu ada yang membekas karenanya.

Gildan mengusapkan jemarinya pada punggung tangan Reuben yang berdiam di atas paha. Seakan memberitahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua.

"Gue merasa lebih buruk dari Ben." Ucapan Gildan membuat Reuben melihatnya dengan kernyitan di dahi.

"Karena lo gak bisa pegang janjinya buat gak berbuat macem-macem sama gue?" Tanya Reuben, sekaligus memastikan.

Gildan mengangguk. "Tau kenapa dia gak bisa kabulin permintaan lo untuk ngelakuin hal yang sama kaya Aila?" Reuben menggeleng. "Karena dia gak bisa nyakitin lo lebih dari yang udah dia lakuin. Kejujuran dia luar biasa menurut gue, dan lo harus bersyukur karena udah ketemu orang yang bisa ngehargain lo."

"Tapi dia tetep nyakitin gue."

"Gak sesakit yang diperkirakan. Dia nunggu, saat dimana lo siap dengerin itu semua. Ditambah setelah dia ketemu gue."

"Dia cerita semuanya ke lo? Iya, kan?"

"Kita ketemu sekali tanpa sepengetahuan lo. Dia minta gue jagain lo disaat sedikit demi sedikit kejujuran itu dia ungkapin. Karena disaat perhatian lo udah teralih ke gue, rasa sakit yang dia kasih gak begitu menyakitkan buat lo." Jelas Gildan.

"Kalian permainin gue demi kepentingan sendiri? Tanpa peduli perasaan gue?" Bilang bahwa Reuben seperti perempuan karena sudah membawa rasa dalam hal ini, tapi memang itu yang terjadi.

"Demi kepentingan lo." Gildan menagkupkan tangannya pada telapak Reuben. "Perasaan gue ke lo itu serius, gak main-main dan Ben tau itu."

Keduanya tidak ingin Reuben semakin tersiksa karena kebodohan mereka. Ben sudah mengkhianatinya dan Gildan telah memberikan trauma di masa lalu.

Candala [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang